Sebenarnya lagu Lingsir Wengi ini biasa dinyanyikan oleh ibu-ibu untuk menidurkan anaknya di kala malam yang sunyi, yang berfungsi agar si anak diberikan perlindungan oleh Tuhan, sedangkan nama lain dari Lingsir Wengi yaitu kidung Rumekso Ing Wengi.
Berikut ini beberapa hal yang berkaitan dengan makna lagu lingsir wengi ini:
1. Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga yang mempunyai nama kecil Raden Said ini memiliki nama-nama lain seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman. Beliau lah yang menciptakan lagu atau kidung Lingsir Wengi tersebut. Nama Kalijaga diperoleh karena beliau menyukai berendam di sungai pada saat beliau berada di Cirebon. Namun menurut pengamat lainnya, menyatakan bahwa kata Kalijaga berasala dari bahasa arab yaitu "Qadli Dzaqa" yang berarti penghulu suci kesultanan.
2. Sarana Dakwah
Sunan Kalijaga sangat menyukai kesenian, sehingga beliau memakai kesenian sebagai alat untuk menyebarkan agama Islam pada masa itu. Sunan Kalijaga menggunakan seni ukiran, wayang, gamelan, serta nyanyian dalam dakwahnya. Salah satunya yang beliau gunakan adalah kidung Lingsir Wengi tersebut yang berisi doa kepada Tuhan. Selain itu, ia juga menciptakan baju takwa, perayaan sekatenan di Yogyakarta, dan lain-lain.
3. Lagu Gending Jawa
Sunan Kalijaga menciptakan kidung Lingsir Wengi dengan memakai pakem gending Jawa yaitu Macapat. Pakem Macapat ini terdiri dari 11 macam pakem yang salah satunya yaitu pakem Durma yang dipakai dalam Lingsir Wengi.
Lagu-lagu yang memakai Pakem Durma harus mencerminkan suasana yang keras, sangar, suram, kesedihan, bahkan bisa mengungkapkan sesuatu yang mengerikan dalam kehidupan. Oleh sebab itu, lagu Lingsir Wengi dilantunkan dengan perasaan yang lembut, tempo pelan, dan sangat menyayat hati.
4. Lagu Tolak Bala
Lagu Lingsir Wengi dipakai oleh sunan Kalijaga setelah melakukan solat malam yang berfungsi untuk menolak bala atau mencegah perbuatan makhluk gaib yang ingin mengganggu.
Selain itu makna lagu tersebut tersirat menyatakan sebuah doa kepada Tuhan seperti yang dinyatakan dalam lirik lagunya :
Lingsir wengi sliramu tumeking sirno
Ojo tangi nggonmu guling
Awas jo ngetoroAku lagi bang wingo wingo
Jin setan kang tak utusi
Dadyo sebarang
Wojo lelayu sebet
Dalam Bahasa indonesia :
Menjelang malam, dirimu akan lenyap
Jangan bangun dari tempat tidurmu
Awas jangan menampakkan diri
Aku sedang dalam kemarahan besar
Jin dan setan yang kuperintah
Menjadi perantara
Untuk mencabut nyawamu
Mitos lain seputar lagu lingsir wengi
Dalam beberapa mitologi jawa yang lain menyebutkan bahwa syair lagu tersebut yang disebut dengan syair durma yang konon dikatakan bisa memanggil kedatangan mahluk halus.
Durma adalah salah satu pakem lagu dalam Macapat.
Macapat adalah kumpulan lagu Jawa yang mencakup 11 pakem (Dandhanggula, Mijil, Pocung, Megatruh, Gambuh, Sinom, Maskumambang, Pangkur, durma, Asmarandana, dan Kinanthi).
Tradisi Macapat ini diperkirakan sudah mulai ada sejak jaman akhir kerajaan Majapahit.
Setiap tembang dalam Macapat mencerminkan watak yang berbeda-beda. durma, disebut sebagai bagian Macapat yang mencerminkan suasana/sifat keras, sangar, dan suram. Bahkan kadang mengungkapkan hal-hal yg angker dlm kehidupan.
Dalam tradisi Jawa, ada istilah Tembang dolanan (Lagu Mainan). Yang dimaksud adalah lagu yang dipakai untuk ritual permainan magis Jawa. Misal, ada lagu untuk memainkan Jalangkung; ada lagu untuk memanggil roh dlm permainan boneka Ni Thowong; dsb. Ada pula lagu yang dipercaya bisa memanggil buaya di sungai (dari pakem Megatruh), dan oleh orang Jawa sampai saat ini masih menjadi mitos larangan untuk dinyanyikan di sungai.

Tapi untuk lagu-lagu ritual, biasanya tidak berdiri sendiri untuk memfungsikannya.
Lagu itu dinyanyikan dengan iringan syarat ritual yg lain, yang mana tiap-tiap ritual membutuhkan per-syarat-an atau sesaji-an yang sangat spesifik dan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan ritual tersebut.
Dalam budaya Jawa terdapat lagu lain yang juga sering digunakan untuk memanggil mahluk halus yaitu :
Sluku-sluku bathok, bathok'e ela-eloSi romo menyang solo, oleh-oleh'e payung munthoMak jenthit lo-lo lobah, wong mati ora obahYen obah medheni bocah…
Pada jaman dahulu, anak – anak Jawa memiliki tradisi dan kebiasaan setiap bulan purnama mereka akan membuat boneka dari keranjang bunga yg habis dipakai untuk ziarah (seperti Jelangkung). lalu dilengkapi dengan sesaji bunga tujuh rupa, sirih, dan tembakau, kemudian diletakan di pinggiran sungai.
Pada malam bulan purnama, anak – anak akan mengelilingi boneka itu sambil menyanyikan lagu tadi. Lagu itu dinyanyikan berulang kali sambil memegang boneka, dan konon apa yang terjadi berikutnya adalah Boneka tersebut akan bergerak dengan agresif, seperti yang dikendalikan oleh kekuatan dari luar. Hal itu berarti roh penunggu sungai tersebut telah masuk ke boneka dan mau diajak bermain dengan mereka. dalam permainan tersebut boneka itu harus terus dipegang dan roh boneka itu akan membawa pemegangnya berlari-lari kemana-mana, lalu ini dijadikan permainan kejar-kejaran. dan siapa yang kelelahan akan ditangkap oleh boneka itu lalu dipukul dengan kepala boneka yang terbuat dari tempurung kelapa dengan melalui kekuatan mistis yang merasuki boneka tersebut. Permainan ini dikenal dengan Ni Thowong atau Ninidok.
Dan setelah permainan berakhir maka anak-anak tersebut akan melagukan mantra penanggulangannya. yang berfungsi untuk menghindari efek yang lebih lanjut dari kemunculan mahluk halus tersebut.
Inilah mantra penanggulangannya
Nga tha ba ga ma,
Nya ya ja dha pa,
La wa sa ta da,
Ka ro co no ho. (di baca 7 kali)
Jika diamati, mantra diatas sebenarnya adalah ejaan huruf Jawa tapi disusun terbalik. Itu disebut Caraka Walik, mantra Jawa Kuno untuk menangkal roh jahat.
semoga bisa menambah pengetahuan bersama.
Sent from BlackBerry® on 3
No comments:
Post a Comment