Air Bertuah di Makam Sunan Bungkul
Ada yang meyakini, Bungkul adalah orang terkenal di akhir kebesaran Kerajaan Majapahit.
Saat berada di Surabaya, tidak lengkap rasanya jika belum berkunjung ke Taman Bungkul di Jl Raya Darmo, sekaligus berziarah ke Makam Mbah Bungkul.
Konon, Raden Rahmat atau Rahmatullah (kemudian dikenal sebagai Sunan Ampel) diyakini pernah singgah di tempat ini setelah berbulan-bulan melakukan perjalanan dengan naik perahu dari Trowulan, Majapahit (sekarang Mojokerto, Jatim).
Dalam catatan ahli sejarah Belanda bernama GH Von Faber, di sebuah bukunya berjudul Oud Soerabaia ditulis, Bungkul, saat jaman kolonial sengaja tidak dikenalkan jatidiri sebenarnya.
Karena lama berada di kawasan Bungkul, ia kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Bungkul. Sebutan itu melekat saat pertemuannya dengan Raden Rahmat. Dari cerita beberapa sumber, Rahmat kemudian lama ikut ngawulo atau menetap di kawasan Bungkul yang saat itu masih berupa hutan belantara.
Ada juga yang meyakini, Bungkul adalah orang terkenal di akhir kebesaran Kerajaan Majapahit di abad XV. Tidak ada yang tahu atau literatur yang menyebut kenapa orang ini meninggalkan kerajaan dan mengembara hingga ke daerah yang kemudian bernama Surabaya ini.
Sebutan Mbah Bungkul kemudian terus bertengger, ini dimaksudkan sebagai orang pertama di wilayah itu. Namanya juga disejajarkan dengan tokoh perjuangan Islam tingkat lokal seperti Syeh Abdul Muhyi di Tasikmalaya, Jawa Barat, Sunan Geseng di Magelang, Sunan Tembayat di Klaten, Ki Ageng Gribig di Klaten, Sunan Panggung di Tegal, Jawa Tengah, dan Sunan Prapen di Gresik, Jawa Timur serta wali-wali lokal lainnya di Nusantara.
Pada bulan Ramadan, banyak orang dengan berbagai keyakinan mendatangi tempat ini. Lelaki, perempuan, tua dan muda umumnya meyakini Mbah Bungkul adalah sosok kharismatik yang membantu perjuangan Raden Rahmat menyebarkan Islam di Jawa Timur khususnya.
"Saya mendapat pemahaman dari kiai saya, Mbah atau Sunan Bungkul ini guru sekaligus tokoh spiritualnya Raden Rahmat sebelum menjadi Sunan Ampel," kata Muhammad Khuzaini warga Tanggulangin, Sidoarjo, Jawa Timur yang saat itu berziarah bersama keluarganya.
Tidak sulit menemukan petilasan Mbah Bungkul. Setelah berada di kawasan Wonokromo atau yang dikenal dengan Kebun Binatang Surabaya (KBS), jika datang dari selatan Surabaya, bisa berjalan ke utara menuju Jl Raya Darmo pasti akan mendapati Taman Bungkul.
Sesampai di lokasi ini, umumnya pengunjung melakukan sholat di surau kecil yang dulu dibangun Mbah Bungkul bersama Raden Rahmat. Kemudian, bisa dilanjutkan berziarah di makam Mbah Bungkul dan sejumlah pengikutnya yang terhampar di satu lokasi berdekatan.
Cerita lain, menyebutkan 'sumur tua' yang diapit pohon sawo kecik dan beringin itu dibuat keduanya (Mbah Bungkul dan Raden Rahmat) dalam semalam.
Sejak itu, keberadaan sumur dan dua orang yang bisa dimintai pertimbangan, membuat satu persatu orang bergabung dan ikut menetap. Mereka 'belajar' apa saja dari keduanya hingga akhir hayat.
Terlepas banyaknya legenda atau mungkin kontroversi cerita tentang sejarah Mbah Bungkul di Surabaya. Hingga kini, apalagi menjelang 1 Muharram atau Ramadan, kawasan Taman Bungkul yang dipastikan dulu berupa hutan belantara yang kini telah berubah wajah dan suasana masih terus ramai dikunjungi banyak orang dari berbagai penjuru.
Selain pengunjung perorangan, tidak sedikit mereka datang berombongan dengan menumpang bis dari berbagai daerah. Umumnya, peziarah merangkai jadwal kunjungannya bersamaan dengan sejumlah makam wali yang tersebar di Jawa Timur serta lokasi lainnya di luar Provinsi Jawa Timur.
No comments:
Post a Comment