Dulu, ketika masih kanak-kanak, saya
mengenal cerita tokoh WALISONGO dari guru mengaji di kampung. Walisongo dikenal
sebagai 9 orang wali yang menyebarkan ajaran Islam di Jawa. Setelah membaca
beberapa buku sejarah Walisongo, ternyata apa yang saya ketahui tentang
Walisongo pada saat masih kanak-kanak itu sebenarnya bukanlah 9 orang Wali
kharismatik yang menyebarkan Islam di tanah Jawa, tetapi pengertian Walisongo
yang sebenarnya adalah Dewan Dakwah atau Dewan Mubaligh yang bernama Walisongo,
di dalamnya tergabung 9 para ulama kharismatik yang berdakwah di seluruh
pelosok pulau Jawa.
Untuk lebih mengenal Dewan Dakwah Walisongo ini, saya sajikan sejarahnya yang
terdapat dalam salah satu buku Kisah Walisongo. Dan kali ini saya sajikan Kisah
Walisongo yang ditulis oleh: Abu Khalid, MA. Untuk kisah dan pengalaman
masing-masing wali yang dikenal masyarakat luas akan saya sajikan terpisah.
Dalam kisah dan pengalaman Walisongo yang ditulis oleh para sejarawan itu
melukiskan berbagai karomah yang diberikan Allah swt kepada mereka. Bagi
sebagian orang -jangankan karomah- mukjizat yang diberikan Allah swt kepada
Nabi-nabiNYA terkadang dianggap sebagai cerita bohong belaka, walaupun telah
jelas tertulis dalam kitab suciNYA. Oleh karena itu, membaca kisah Walisongo
dengan berbagai karomahnya tentu bukan hal yang paling utama untuk diambil
sebagai pelajaran. Menurut hemat saya, mengenali semangat, upaya, keikhlasan,
serta ketaatannya kepada Sang Khalik dalam menyebarkan ajaranNYA itulah yang
lebih penting untuk kita ketahui dan teladani.
Seperti yang tertulis dalam buku Kisah Walisongo tersebut, umumnya kita
mengenal Walisongo hanyalah sembilan orang yaitu: Syekh Maulana Malik Ibrahim,
Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga, Sunan
Kudus, Sunan Muria, dan Sunan GunungJati
Seperti tersebut dalam Kitab Kanzul Ulul Ibnul Bathuthah yang penulisnya
dilanjutkan oleh Syekh Maulana Al Maghrobi, Walisongo melakukan sidang tiga
kali, yaitu:
Tahun 1404 M adalah sembilan wali.
Tahun 1436 M masuk tiga wali mengganti yang wafat.
Tahun 1463 M masuk empat wali mengganti yang wafat dan pergi.
Menurut KH Dachlan Abd. Qohar, pada tahun 1466 M, Walisongo melakukan sidang
lagi membahas berbagai hal. Diantaranya adalah perkara Syekh Siti Jenar,
meninggalnya dua orang wali yaitu Maulana Muhammad Al Maghrobi dan Maulana
Ahmad Jumadil Kubro serta masuknya dua orang wali menjadi anggota Walisongo.
1. Walisongo Periode Pertama
Pada waktu Sultan Muhammad 1 memerintah kerajaan Turki, beliau menanyakan
perkembangan agama Islam kepada para pedagang dari Gujarat. Dari mereka Sultan
mendapat kabar berita bahwa di Pulau Jawa ada dua kerajaan Hindu yaitu
Majapahit dan Pajajaran. Di antara rakyatnya ada yang beragama Islam tapi hanya
terbatas pada keluarga pedagang Gujarat yang kawin dengan para penduduk pribumi
yaitu di kota-kota pelabuhan.
Sang Sultan kemudian mengirim surat kepada pembesar Islam di Afrika Utara dan
Timur Tengah. Isinya meminta para ulama yang mempunyai karomah untuk dikirim ke
pulau Jawa. Maka terkumpullah sembilan ulama berilmu tinggi serta memiliki
karomah.
Pada tahun 808 Hijrah atau 1404 Masehi para ulama itu berangkat ke Pulau Jawa.
Mereka adalah:
Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Turki ahli mengatur negara. Berdakwah di
Jawa bagian timur. Wafat di Gresik pada tahun 1419 M. Makamnya terletak satu
kilometer dari sebelah utara pabrik Semen Gresik.
Maulana Ishak berasal dari Samarqand (dekat Bukhara-Rusia Selatan). Beliau ahli
pengobatan. Setelah tugasnya di Jawa selesai Maulana Ishak pindah ke Pasai dan
wafat di sana.
Maulana Ahmad Jumadil Kubra, berasal dari Mesir. Beliau berdakwah keliling.
Makamnya di Troloyo Trowulan, Mojokerto Jawa Timur.
Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maghrib (Maroko), beliau berdakwah keliling.
Wafat tahun 1465 M. Makamnya di Jatinom Klaten, Jawa Tengah.
Maulana Malik Isroil berasal dari Turki, ahli mengatur negara. Wafat tahun 1435
M. Makamnya di Gunung Santri.
Maulana Muhammad Ali Akbar, berasal dari Persia (Iran). Ahli pengobatan. Wafat
1435 M. Makamnya di Gunung Santri.
Maulana Hasanuddin berasal dari Palestina. Berdakwah keliling. Wafat pada tahun
1462 M. Makamnya disamping masjid Banten Lama.
Maulana Alayuddin berasal dari Palestina. Berdakwah keliling. Wafat pada tahun
1462 M. Makamnya disamping masjid Banten Lama.
Syekh Subakir, berasal dari Persia, ahli menumbali (metode rukyah) tanah angker
yang dihuni jin-jin jahat tukang menyesatkan manusia. Setelah para Jin tadi
menyingkir dan lalu tanah yang telah netral dijadikan pesantren. Setelah banyak
tempat yang ditumbali (dengan Rajah Asma Suci) maka Syekh Subakir kembali ke
Persia pada tahun 1462 M dan wafat di sana. Salah seorang pengikut atau sahabat
Syekh Subakir tersebut ada di sebelah utara Pemandian Blitar, Jawa Timur.
Disana ada peninggalan Syekh Subakir berupa sajadah yang terbuat dari batu
kuno.
2. Walisongo Periode Kedua
Pada periode kedua ini masuklah tiga orang wali menggantikan tiga wali yang
wafat. Ketiganya adalah:
Raden Ahmad Ali Rahmatullah, datang ke Jawa pada tahun 1421 M menggantikan
Malik Ibrahim yang wafat pada tahun 1419 M. Raden Ahmad berasal dari Cempa,
Muangthai Selatan (Thailand Selatan).
Sayyid Ja’far Shodiq berasal dari Palestina, datang di Jawa tahun 1436
menggantikan Malik Isro’il yang wafat pada tahun 1435 M. Beliau tinggal di
Kudus sehingga dikenal dengan Sunan Kudus.
Syarif Hidayatullah, berasal dari Palestina. Datang di Jawa pada tahun 1436 M.
Menggantikan Maulana Ali Akbar yang wafat tahun 1435 M. Sidang walisongo yang
kedua ini diadakan di Ampel Surabaya.
Para wali kemudian membagi tugas. Sunan Ampel, Maulana Ishaq dan Maulana
Jumadil Kubro bertugas di Jawa Timur. Sunan Kudus, Syekh Subakir dan Maulana
Al-Maghrobi bertugas di Jawa Tengah. Syarif Hidayatullah, Maulana Hasanuddin
dan Maulana Aliyuddin di Jawa Barat. Dengan adanya pembagian tugas ini maka
masing-masing wali telah mempunyai wilayah dakwah sendiri-sendiri, mereka
bertugas sesuai keahlian masing-masing.
3. Walisongo Periode Ketiga
Pada tahun 1463 M. Masuklah empat wali menjadi anggota Walisongo yaitu:
Raden Paku atau Syekh Maulana Ainul Yaqin kelahiran Blambangan Jawa Timur.
Putra dari Syekh Maulana Ishak dengan putri Kerajaan Blambangan bernama Dewi
Sekardadu atau Dewi Kasiyan. Raden Paku ini menggantikan kedudukan ayahnya yang
telah pindah ke negeri Pasai. Karena Raden Paku tinggal di Giri maka beliau
lebih terkenal dengan sebutan Sunan Giri. Makamnya terletak di Gresik Jawa
Timur.
Raden Said, atau Sunan Kalijaga, kelahiran Tuban Jawa Timur. Beliau adalah
putra Adipati Wilatikta yang berkedudukan di Tuban. Sunan Kalijaga menggantikan
Syekh Subakir yang kembali ke Persia.
Raden Makdum Ibrahim, atau Sunan Bonang, lahir di Ampel Surabaya. Beliau adalah
putra Sunan Ampel, Sunan Bonang menggantikan kedudukan Maulana Hasanuddin yang
wafat pada tahun 1462. Sidang Walisongo yang ketiga ini juga berlangsung di
Ampel Surabaya.
4. Walisongo Periode Keempat
Pada tahun 1466 diangkat dua wali menggantikan dua yang telah wafat yaitu
Maulana Ahmad Jumadil Kubro dan Maulana Muhammad Maghrobi. Dua wali yang menggantikannya
ialah:
Raden atau Raden Fattah (Raden Patah)
Raden Patah adalah murid Sunan Ampel, beliau adalah putra Raja Brawijaya
Majapahit. Beliau diangkat sebagai Adipati Bintoro pada tahun 1462 M. Kemudian
membangun Masjid Demak pada tahun 1465 dan dinobatkan sebagai Raja atau Sultan
Demak pada tahun 1468.
Fathullah Khan, putra Sunan Gunungjati, beliau dipilih sebagai anggota
Walisongo menggantikan ayahnya yang telah berusia lanjut.
5. Walisongo Periode Kelima
Dapat disimpulkan bahwa dalam periode ini masuk Sunan Muria atau Raden Umar
Said-putra Sunan Kalijaga menggantikan wali yang wafat.
Konon Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang itu adalah salah satu anggota
Walisongo, namun karena Siti Jenar di kemudian hari mengajarkan ajaran yang
menimbulkan keresahan umat dan mengabaikan syariat agama maka Siti Jenar
dihukum mati. Selanjutnya kedudukan Siti Jenar digantikan oleh Sunan Bayat –
bekas Adipati Semarang (Ki Pandanarang) yang telah menjadi murid Sunan
Kalijaga.
Selanjutnya, kisah, legenda atau riwayat masing-masing wali yang dikenal
masyarakat secara umum akan disajikan pada halaman terpisah. Adapun Wali yang
dikenal masyarakat secara luas sebagai WALISONGO adalah:
1. Syekh Maulana Malik Ibrahim
2. Sunan Ampel
3. Sunan Bonang
4. Sunan Giri
5. Sunan Drajad
6. Sunan Muria
7. Sunan Kudus
8. Sunan Kalijaga
9. Sunan Gunungjati
Para peziarah Walisongo, biasanya mendatangi makam sembilan wali tersebut. Jika
ziarah itu ingin lebih lengkap maka pemimpin ziarah (yang mengerti sejarah
Walisongo) akan menziarahi pula Walisongo periode pertama hingga periode
keempat, termasuk guru-guru atau orang tua dari para wali periode kelima.
Misalnya, seseorang dari Surabaya yang telah berziarah ke makam Sunan Drajad,
ia pasti akan menyempatkan diri berziarah ke makam Syekh Maulana Malik Ibrahim
Asmarakandi di Gresikharjo, beliau adalah kakek Sunan Drajad dan ayah dari
Raden Rahmat Sunan Ampel.
Itulah sejarah singkat Walisongo, semoga dapat menambah pengetahuan anda semua.
Amin!
Ringkasan Silsilah dari Rasulullah sampai Walisongo
RASULULLAH MUHAMMAD SAW
|
IMAM ‘ALI AL-MURTADHA BIN ABU THALIB
|
IMAM HUSEIN AS-SAYYID BIN IMAM ‘ALI AL-MURTADHA BIN ABU THALIB
|
IMAM ‘ALI ZAINAL ABIDIN bin IMAM HUSEIN AS-SAYYID
|
IMAM MUHAMMAD AL BAQIR bin IMAM ‘ALI ZAINAL ABIDIN
|
IMAM JA’FAR ASH-SHADIQ bin IMAM MUHAMMAD AL BAQIR
|
‘ALI AR-URAIDHI bin IMAM JA’FAR ASH-SHADIQ (Leluhur Jamaludin Husein Al-Akbar)
|
JAMALUDIN HUSEIN AL-AKBAR (LELUHUR WALI SONGO)
|
WALISONGO
1. Syekh Maulana Malik Ibrahim
Jauh sebelum Maulana Malik Ibrahim datang ke Pulau Jawa, sebenarnya sudah ada
masyarakat Islam di daerah-daerah pantai utara. Termasuk di desa Leran. Hal itu
bisa dibuktikan dengan adanya makam seorang wanita bernama Fatimah Binti Maimun
yang meninggal pada tahun 475 Hijriyyah atau pada tahun 1082 M.
Jadi, sebelum jaman Walisongo, Islam sudah ada di Pulau Jawa yaitu daerah
Jepara dan Leren. Tetapi Islam pada masa itu belum berkembang secara
besar-besaran.
Maulana Malik Ibrahim yang lebih dikenal penduduk setempat sebagai Kakek Bantal
itu diperkirakan datang ke Gresik pada tahun 1404 M, beliau berdakwah di Gresik
hingga akhir wafatnya yaitu pada tahun 1419.
Pada masa itu kerajaan yang berkuasa di Jawa Timur adalah Majapahit. Raja dan
rakyatnya kebanyakan masih beragama Hindu atau Budha. Sebagian rakyat Gresik
sudah ada yang beragama Islam tapi masih banyak yang beragama Hindu. Atau
bahkan tidak beragama sama sekali.
Dalam berdakwah Kakek Bantal menggunakan cara yang bijaksana dan strategi yang
tepat berdasarkan ajaran Al Qur’an yaitu: “Hendaknya engkau ajak ke jalan
Tuhanmu dengan himah (kebijaksanaan) dan dengan petunjuk-petunjuk yang baik
serta ajaklah mereka berdialog (bertukar pikiran) dengan cara yang
sebaik-baiknya (QS An Nahl: 125)
Ada yang menyebutkan bahwa beliau berasal dari Turki dan pernah mengembara di
Gujarat sehingga beliau cukup berpengalaman menghadapi orang-orang Hindu di
Pulau Jawa. Gujarat adalah wilayah negeri India yang kebanyakan penduduknya
beragama Hindu.
Di Jawa, Kakek Bantal bukan hanya berhadapan dengan masyarakat Hindu, melainkan
juga harus bersabar terhadap mereka yang tak beragama maupun mereka yang
terlanjur mengikuti aliran sesat, juga meluruskan iman dari orang-orang Islam
yang bercampur dengan kegiatan musyrik. Caranya: beliau tidak langsung
menentang kepercayaan mereka yang salah itu melainkan mendekati mereka dengan
penuh hikmah, beliau tunjukkan keindahan dan ketinggian akhlak Islami
sebagaimana ajaran Nabi Muhammad saw.
Dari huruf-huruf Arab yang terdapat di batu nisannya dapat diketahui bahwa
Syekh Maulana Malik Ibrahim adalah si Kakek Bantal, penolong fakir miskin, yang
dihormati para pangeran dan para sultan ahli tata negara yang ulung. Hal itu
menunjukkan betapa hebat perjuangan beliau terhadap masyarakat, bukan hanya
pada kalangan atas melainkan juga pada golongan rakyat bawah yaitu kaum fakir
miskin.
Keterangan yang tertulis di makamnya ialah sebagai berikut: “Inilah makam
Almarhum Almaghfur yang berharap rahmat Tuhan kebanggaan para Pangeran, sendi
para Sultan dan para Menteri, penolong para fakir miskin, yang berbahagia lagi
syahid, cemerlangnya symbol negara dan agama, Malik Ibrahim yang terkenal
dengan Kakek Bantal. Allah meliputinya dengan RahmatNYA dan keridhaanNYA, dan
dimasukkan ke dalam surga. Telah wafat pada hari Senin 12 Rabiul Awwal tahun
822 H”
Menurut literatur yang ada, beliau juga ahli pertanian dan ahli pengobatan.
Sejak beliau berada di Gresik hasil pertanian rakyat Gresik meningkat tajam.
Dan orang-orang sakit banyak yang disembuhkannya dengan daun-daunan tertentu.
Sifatnya lemah lembut, welas asih dan ramah tamah kepada semua orang, baik
sesama muslim atau dengan non muslim membuatnya terkenal sebagai tokoh
masyarakat yang disegani dan dihormati. Kepribadiannya yang baik itulah yang
menarik hati penduduk setempat sehingga mereka berbondong-bondong masuk agama
Islam dengan suka rela dan menjadi pengikut beliau yang setia.
Sebagai misal, bila beliau menghadapi rakyat jelata yang pengetahuannya masih
awam sekali, beliau tidak menerangkan Islam secara “njlimet”. Kaum bawah
tersebut dibimbing untuk bisa mengolah tanah agar sawah dan ladang mereka dapat
dipanen lebih banyak lagi. Sesudah itu mereka dianjurkan bersyukur kepada Yang
Memberikan Rezeki, yaitu Allah swt.
Di kalangan rakyat jelata Syekh Maulana Malik Ibrahim sangat terkenal, terutama
dari kalangan kasta rendah. Sebagaimana diketahui agama Hindu membagi
masyarakat menjadi empat kasta; Kasta Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra.
Dari keempat kasta tersebut kasta Sudra adalah yang paling rendah dan sering
ditindas oleh kasta-kasta yang jauh lebih tinggi. Maka ketika Syekh Maulana
Malik Ibrahim menerangkan kedudukan seseorang di dalam Islam, orang-orang Sudra
dan Waisya banyak yang tertarik. Syekh Maulana Malik Ibrahim menjelaskan bahwa
dalam agama Islam semua manusia sama sederajat. Orang Sudra boleh saja bergaul
dengan kalangan yang lebih atas, tidak dibeda-bedakan. Di hadapan Allah semua
manusia adalah sama, yang paling mulia di antara mereka hanyalah yang paling
takwa kepadaNYA.
Takwa itu letaknya di hati, hati yang mengendalikan segala gerak kehidupan
manusia untuk berusaha sekuat-kuatnya mengerjakan segala perintah Allah dan
menjauhi segala laranganNYA.
Dengan takwa itulah manusia akan hidup berbahagia di dunia hingga di akhirat
kelak. Orang bertakwa sekalipun dia dari kasta Sudra bisa lebih mulia daripada
mereka yang berkasta Ksatria dan Brahmana.
Mendengar keterangan ini, mereka yang berasal dari kasta Sudra dan Waisya
merasa lega, mereka merasa dibela dan dikembalikan haknya sebagai manusia utuh
sehingga wajarlah bila mereka berbondong-bondong masuk agama Islam dengan suka
cita.
Setelah pengikutnya semakin banyak, beliau kemudian mendirikan masjid untuk
beribadah bersama-sama dan mengaji. Dalam membangun masjid ini beliau mendapat
bantuan yang tidak sedikit dari Raja Carmain.
Dan untuk mempersiapkan kader ummat yang nantinya dapat meneruskan perjuangan
menyebarkan Islam ke seluruh Tanah Jawa dan seluruh Nusantara maka beliau
kemudian mendirikan pesantren yang merupakan perguruan Islam, tempat mendidik
dan menggembleng para santri sebagai calon mubaligh.
Pendirian Pesantren yang pertama kali di Nusantara itu diilhami oleh kebiasaan
masyarakat Hindu yaitu para Bikhu dan Pendeta Brahmana yang mendidik cantrik
dan calon pemimpin agama di mandala-mandala mereka.
Inilah salah satu strategi para Wali yang cukup jitu; orang Budha dan Hindu
yang mendirikan mandala-mandala untuk mendidik kader tidak dimusuhi secara
frontal, melainkan beliau-beliau itu mendirikan bentuk Pesantren yang mirip
mandala-mandala milik kelompok Hindu dan Budha tersebut untuk menjaring ummat.
Dan ternyata hasilnya sungguh memuaskan, dari pesantren Gresik kemudian muncul
para mubaligh yang menyebar ke seluruh Nusantara.
Tradisi Pesantren tersebut berlangsung hingga di jaman sekarang, dimana para
ulama menggodok calon mubaligh di pesantren yang diasuhnya.
Bila orang bertanya sesuatu masalah agama kepada beliau maka beliau tidak
menjawab dengan berbelit-belit melainkan dijawabnya dengan mudah dan gamblang
sesuai dengan pesan Nabi yang menganjurkan agama disiarkan dengan mudah, tidak
dipersulit, ummat harus dibuat gembira, tidak ditakut-takuti.
Seperti tersebut dalam buku History of Java karangan Sir Stamford Raffles; pada
suatu hari Syekh Maulana Malik Ibrahim ditanya;”Apakah yang dinamakan Allah
itu?”
Beliau tidak menjawab bahwa Allah itu adalah Tuhan yang memberi pahala sorga
bagi hambaNYA yang berbakti dan menyiksa sepedih-pedihnya bagi hamba yang
membangkang kepadaNYA.
Jawabannya cukup singkat dan jelas, yaitu,”Allah adalah Zat yang diperlukan
adaNYA”.
Dua tahun sudah Syekh Maulana Malik Ibrahim berdakwah di Gresik, beliau tidak
hanya membimbing ummat untuk mengenal dan mendalami agama Islam, melainkan juga
memberi pengarahan agar tingkat kehidupan masyarakat Gresik menjadi lebih baik.
Beliau pula yang mempunyai gagasan mengalirkan air dari gunung untuk mengairi
lahan pertanian penduduk. Dengan adanya sistem pengairan yang baik ini lahan
pertanian menjadi subur dan hasil panen bertambah banyak, para petani menjadi
makmur dan mereka dapat mengerjakan ibadah dengan tenang.
Andaikata Syekh Maulana Malik Ibrahim tidak ikut membenahi dan meningkatkan
taraf hidup rakyat Gresik tentulah mereka sukar diajak beribadah dengan baik
dan tenang. Sebagaimana sabda nabi bahwa kefakiran menjurus pada kekafiran.
Bagaimana mungkin bisa beribadah dengan tenang jika sehari-hari disibukkan
dengan urusan sesuap nasi. Inilah resep yang harus ditiru.
Tamu dari Negeri Cermain
Ada ganjalan di hati Syekh Maulana Malik Ibrahim. Dia telah berhasil
mengislamkan sebagian besar rakyat Gresik. Gresik adalah bagian dari wilayah
Majapahit. Kalau seluruh rakyat sudah memeluk Islam sementara Raja Brawijaya
penguasa Majapahit masih beragama Hindu apakah di belakang hari tidak timbul ketegangan
antara rakyat dengan rajanya.
Untuk menghindari hal itu muka Syekh Maulana Malik Ibrahim mempunyai rencana
mengajak Raja Brawijaya untuk masuk agama Islam.
Hal itu diutarakan kepada sahabatnya yaitu Raja Cermain. Ternyata Raja Cermain
juga mempunyai maksud serupa. Sudah lama Raja Cermain ingin mengajak Prabu
Brawijaya masuk agama Islam. Pada tahun 1321 Masehi Raja Cermain datang ke
Gresik disertai putrinya yang cantik rupawan. Putri Raja Cermain itu bernama
Dewi Sari, tujuannya dalam misi tersebut adalah untuk memberikan bimbingan
kepada para putri istana Majapahit mengenal agama Islam.
Bersama Syekh Maulana Malik Ibrahim rombongan dari negeri Cermain itu menghadap
Prabu Brawijaya. Usaha mereka ternyata gagal. Prabu Brawijaya bersikeras
mempertahankan agama lama dengan ucapan yang diplomatis. Bahwa dia bersedia
masuk Islam bila Dewi Sari bersedia dipersuntingnya sebagai istri. Dewi Sari
menolak. Tidak ada gunanya masuk Islam bila ditunggangi dengan kepentingan
duniawi. Beragama seperti itu hanya akan merusak keagungan agama Islam.
Rombongan dari negeri Cermain lalu kembali ke Gresik. Mereka beristirahat di
Leran sembari menunggu selesainya perbaikan kapal untuk berlayar pulang.
Sungguh sayang sekali, selama beristirahat di Leran itu banyak anggota
rombongan dari negeri Cermain yang diserang wabah penyakit. Banyak di antara
mereka yang tewas, termasuk Dewi Sari.
Kabar kematian Dewi Sari terdengar ke telinga Prabu Brawijaya. Raja yang memang
tertarik dan merasa jatuh cinta kepada Dewi Sari itu kemudian menyempatkan diri
beserta ponggawa kerajaan ke Desa Leran. Brawijaya sang Raja Majapahit itu
memerintahkan kepada para ponggawa kerajaan untuk menggali kubur dan memakamkan
Dewi Sari dengan upacara kebesaran. Di desa Leran itulah Dewi Sari dikuburkan.
Setelah rombongan dari negeri Cermain meninggalkan pantai Leran maka Prabu
Brawijaya menyerahkan seluruh daerah Gresik kepada Syekh Maulana Malik Ibrahim
untuk diperintah sendiri di bawah kedaulatan Majapahit.
Penyerahan daerah itu adalah siasat dari sang Raja agar rakyat Gresik yang
beragama Islam itu tidak berontak kepada rajanya yang masih beragama Hindu.
Amanat raja Majapahit itu diterima Syekh Maulana Malik Ibrahim dengan suka
rela. Sesuai dengan ajaran Islam yang menganjurkan perdamaian walaupun dengan
kafir zimmi yaitu orang-orang yang bukan muslim yang mau hidup berdampingan
dengan aman dalam satu negara.
Demikianlah sekilas tentang Syekh Maulana Malik Ibrahim, seorang Wali yang
dianggap sebagai ayah dari Walisongo. Beliau wafat di Gresik pada tahun 882 H
atau 1419 M.
2. Sunan Ampel
Asal-usul
Kenalkah anda dengan daerah Bukhara? Bukhara ini terletak di Samarqand. Sejak
dahulu daerah Samarqand ini dikenal sebagai daerah Islam yang menelorkan
ulama-ulama besar seperti sarjana hadits terkenal yaitu Imam Bukhari yang
mashur sebagai pewaris hadits sahih.
Di Samarqand ini ada seorang ulama besar bernama Syekh Jamalluddin Jumail
Kubra, seorang Ahlussunnah bermahzab Syafi’i, beliau mempunyai seorang putra
bernama Ibrahim. Karena berasal dari Samarqand maka Ibrahim kemudian mendapat
tambahan Samarqandi. Orang Jawa sangat sukar mengucapkan Samarqandi maka mereka
hanya menyebutnya sebagai Syekh Ibrahim Asmarakandi.
Syekh Ibrahim Asmarakandi ini diperintah oleh ayahnya yaitu Syekh Jamalluddin
Jumadil Kubra untuk berdakwah ke negara-negara Asia. Perintah ini dilaksanakan,
dan beliau kemudian diambil menantu oleh raja Cempa, dijodohkan dengan putri
raja Cempa yang bernama Dewi Candrawulan.
Negeri Cempa ini menurut sebagian ahli sejarah terletak di Muangthai
(Thailand). Dari perkawinannya dengan Dewi Candrawulan maka Ibrahim Asmarakandi
mendapat dua orang putra yaitu Sayyid Ali Rahmatullah dan Sayyid Ali Murtadho.
Sedangkan adik Dewi Candrawulan yang bernama Dewi Dwarawati diperistri oleh
Prabu Brawijaya Majapahit. Dengan demikian keduanya adalah keponakan Ratu
Majapahit dan tergolong putra bangsawan atau pangeran kerajaan. Para Pangeran
atau bangsawan kerajaan pada waktu itu mendapat gelar Rahadian yang artinya
Tuanku, dalam proses selanjutnya sebutan ini cukup dipersingkat Raden.
Raja Majapahit sangat senang mendapat istri dari negeri Cempa yang wajahnya dan
kepribadiannya sangat memikat hati. Sehingga istri-istri lainnya diceraikan,
banyak yang diberikan kepada para adipatinya yang tersebar di seluruh Nusantara.
Salah satu contoh adalah istri yang bernama Dewi Kian, seorang putri Cina yang
diberikan kepada Adipati Ario Damar di Palembang.
Ketika Dewi Kian diceraikan dan diberikan kepada Ario Damar saat itu sedang
hamil tiga bulan. Ario Damar tidak diperkenankan menggauli putri Cina itu
sampai si jabang bayi terlahir ke dunia. Bayi dari rahim Dewi Kian itulah yang
nantinya bernama Raden Hasan atau lebih dikenal dengan nama Raden Patah, salah
seorang murid Sunan Ampel yang menjadi raja di Demak Bintoro.
Kerajaan Majapahit sesudah ditinggal Mahapatih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk
mengalami kemunduran drastis. Kerajaan terpecah belah karena terjadinya perang
saudara, dan para adipati banyak yang tak loyal lagi kepada keturunan Prabu
Hayam Wuruk yaitu Prabu Brawijaya.
Pajak dan upeti kerajaan tak banyak yang sampai ke istana Majapahit. Lebih
sering dinikmati oleh para adipati itu sendiri. Hal ini membuat Prabu bersedih
hati. Lebih-lebih lagi dengan adanya kebiasaan buruk kaum bangsawan dan para
pangeran yang suka berpesta pora dan main judi serta mabuk-mabukan. Prabu
Brawijaya sadar betul bila kebiasaan semacam itu diteruskan negara akan menjadi
lemah dan jika negara sudah kehilangan kekuatan betapa mudahnya bagi musuh
untuk menghancurkan Majapahit Raya.
Ratu Dwarawati, yaitu istri Prabu Brawijaya mengetahui kerisauan hati suaminya.
Dengan memberanikan diri dia mengajukan pendapat kepada suaminya. “Saya
mempunyai seorang keponakan yang ahli mendidik dalam hal mengatasi kemerosotan
budi pekerti,” kata ratu Dwarawati.
“Betulkah?” tanya sang Prabu. “Ya namanya Sayyid Ali Rahmatullah. Putra dari
kanda Dewi Candrawulan di negeri Cempa. Bila kanda berkenan saya akan meminta
Ramanda Prabu di Cempa untuk mendatangkan Ali Rahmatullah ke Majapahit ini”.
“Tentu saja aku akan merasa senang bila Rama Prabu di Cempa bersedia
mengirimkan Sayyid Ali Rahmatullah ke Majapahit ini”, kata Raja Brawijaya.
Ke Tanah Jawa
Maka pada suatu hari diberangkatkanlah utusan dari Majapahit ke negri Cempa
untuk meminta Sayyid Ali Rahmatullah datang ke Majapahit. Kedatangan utusan
Majapahit disambut gembira oleh Raja Cempa, dan raja Cempa tidak keberatan
melepas cucunya ke Majapahit untuk meluaskan pengalaman.
Keberangkatan Sayyid Ali Rahmat ke Tahan Jawa tidak sendirian. Ia ditemani oleh
ayah dan kakaknya sebagaimana disebutkan di atas. Ayah Sayyid Ali Rahmat adalah
Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi dan kakaknya bernama Sayyid Ali Murtadho.
Diduga mereka tidak langsung ke Majapahit, melainkan mendarat di Tuban. Tetapi
di Tuban, tepatnya di desa Gesikharjo, Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi jatuh
sakit dan meninggal dunia, beliau dimakamkan di desa tersebut yang masih
termasuk kecamatan Palang Kabupaten Tuban.
Sayyid Murtadho kemudian meneruskan perjalanan, beliau berdakwah keliling ke
daerah Nusa Tenggara, Madura dan sampai ke Bima. Di sana beliau mendapat
sebutan raja Pandita Bima, dan akhirnya berdakwah di Gresik mendapat sebutan
Raden Santri, beliau wafat dan dimakamkan di Gresik. Sayyid Ali Rahmatullah
meneruskan perjalanan ke Majapahit menghadap Prabu Brawijaya sesuai permintaan
Ratu Dwarawati.
Kapal layar yang ditumpanginya mendarat di Pelabuhan Canggu. Kedatangannya
disambut dengan suka cita oleh Prabu Kertabumi. Lebih lebih lagi Ratu Dwarawati
bibinya sendiri, wanita itu memeluknya erat erat seolah sedang memeluk kakak
perempuannya yang berada di istana Kerjaan Cempa. Wajah keponakannya itu memang
mirip dengan kakak perempuannya.
“Nanda Rahmatullah, bersediakah engkau memberikan pelajaran atau mendidik kaum
bangsawan dan rakyat Majapahit agar mempunyai budi pekerti mulia?” tanya sang
Prabu setelah Sayyid Rahmatullah beristirahat melepas lelah. Dengan sikapnya
yang sopan santun tutur kata yang halus Sayyid Ali Rahmatullah menjawab,”Dengan
senang hati Gusti Prabu, saya akan berusaha sekuat-kuatnya untuk mencurahkan
kemampuan saya mendidik mereka”.
“Bagus!” sahut sang Prabu. “Bila demikian kau akan kuberi hadiah sebidang tanah
berikut bangunannya di Surabaya. Di sanalah kau akan mendidik para bangsawan
dan pageran Majapahit agar berbudi pekerti mulia”.
“Terima kasih saya haturkan Gusti Prabu”,” jawab Sayyid Ali Rahmatullah.
Disebutkan dalam literatur bahwa selanjutnya Sayyid Ali Rahmatullah menetap
beberapa hari di istana Majapahit dan dijodohkan dengan salah putri Majapahit
yang bernama Dewi Candrowati atau Nyai Ageng Manila. Dengan demikian Sayyid Ali
Rahmatullah adalah salah seorang Pangeran Majapahit, karena dia adalah menantu
raja Majapahit.
Semenjak Sayyid Ali Rahmatullah diambil menantu Raja Brawijaya, maka beliau
adalah anggota keluarga kerajaan Majapahit atau salah seorang pangeran. Para
pangeran pada jaman dulu ditandai dengan nama depan Rahadian atau Raden yang
berarti Tuanku. Selanjutnya beliau lebih dikenal dengan sebutan Raden Rahmat.
Ampeldenta
Selanjutnya, pada hari yang telah ditentukan berangkatlah rombongan Raden
Rahmat ke sebuah daerah di Surabaya yang kemudian disebut dengan Ampeldenta.
Rombongan itu melalui desa Krian, Wonokromo terus memasuki Kembangkuning.
Selama dalam perjalanan beliau juga berdakwah kepada penduduk setempat yang
dilaluinya. Dakwah yang pertama kali dilakukannya cukup unik. Beliau membuat
kerajinan berbentuk kipas yang terbuat dari akar tumbuh-tumbuhan tertentu dan
dianyam rotan. Kipas-kipas itu dibagi-bagikan kepada penduduk setempat secara
gratis. Para penduduk hanya cukup menukarkannya dengan kalimah syahadat.
Penduduk yang menerima kipas itu merasa sangat senang. Terlebih setelah mereka
mengetahui kipas itu bukan sembarang kipas, akar yang dianyam bersama rotan itu
ternyata berdaya penyembuh bagi mereka yang terkena penyakit batuk dan demam.
Dengan cara itu semakin banyak orang yang berdatangan kepada Raden Rahmat. Pada
saat demikianlah ia memperkenalkan keindahan agama Islam sesuai tingkat
pemahaman mereka.
Cara itu terus dilakukan hingga rombongan memasuki desa Kembangkuning. Pada
saat itu wilayah desa Kembangkuning belum seluas sekarang ini. Di sana-sini
masih banyak hutan dan digenangi air atau rawa-rawa. Dengan karomahNYA, Raden
Rahmat bersama rombongan membuka hutan dan mendirikan tempat sembahyang
sederhana atau langgar. Tempat sembahyang tersebut sekarang telah dirubah
menjadi Masjid yang cukup besar dan bagus, dinamakan sesuai dengan nama Raden
Rahmat yaitu Masjid Rahmat Kembangkuning.
Di tempat itu pula Raden Rahmat bertemu dan berkenalan dengan dua tokoh
masyarakat yaitu: Ki Wiryo Sarojo dan Ki Bang Kuning. Kedua tokoh masyarakat
itu bersama keluarganya masuk Islam dan menjadi pengikut Raden Rahmat.
Dengan adanya kedua tokoh masyarakat itu maka semakin mudah bagi Raden Rahmat
untuk mengadakan pendekatan kepada masyarakat sekitarnya. Terutama kepada
masyarakat yang masih memegang teguh adat kepercayaan lama. Beliau tidak
langsung melarang mereka, melainkan memberi pengertian sedikit demi sedikit
tentang pentingnya ajaran ketauhidan. Jika mereka sudah mengenal tauhid atau
keimanan kepada Tuhan Pencipta Alam, maka secara otomatis mereka akan
meninggalkan sendiri kepercayaan lama yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Setelah sampai di tempat tujuan, pertama kali yang dilakukannya adalah membangun
Masjid sebagai pusat kegiatan ibadah. Ini meneladani apa yang telah dilakukan
Nabi Muhammad saw saat pertama kali sampai di Madinah.
Dan karena beliau menetap di desa Ampeldenta, menjadi penguasa daerah tersebut
maka kemudian beliau dikenal sebagai Sunan Ampel. Sunan berasal dari kata
Susuhunan, artinya Yang dijunjung Tinggi atau panutan masyarakat setempat. Ada
juga yang mengatakan Sunan berasal dari kata Suhu Nan artinya Guru Besar atau
Orang Yang Berilmu Tinggi.
Selanjutnya beliau mendirikan pesantren tempat mendidik putra bangsawan dan
pangeran Majapahit serta siapa saja yang mau datang berguru kepada beliau.
Ajarannya yang terkenal
Hasil didikan beliau yang terkenal adalah falsafah Moh Limo atau Tidak Mau
Melakukan Lima Hal tercela yaitu:
1. Moh Main atau Tidak Mau Berjudi
2. Moh Ngombe atau Tidak Mau Minum Arak atau Bermabuk-mabukan
3. Moh Maling atau Tidak Mau Mencuri
4. Moh Madat atau Tidak Mau Menghisap candu, ganja dan lain-lain
5. Moh Madon atau Tidak Mau Berzina/main perempuan yang bukan istrinya
Prabu Brawijaya sangat senang atas hasil didikan Raden Rahmat. Raja menganggap
agama Islam itu adalah ajaran budi pekerti yang mulia, maka ketika Raden Rahmat
kemudian mengumumkan ajarannya adalah agama Islam maka Prabu Brawijaya tidak
menjadi marah, hanya saja ketika dia diajak untuk memeluk agama Islam ia tidak
mau. Ia ingin menjadi Raja Budha yang terakhir di Majapahit.
Raden Rahmat diperbolehkan menyiarkan agama Islam di wilayah Surabaya bahkan di
seluruh wilayah Majapahit, dengan catatan bahwa rakyat tidak boleh dipaksa.
Raden Rahmat pun memberi penjelasan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama.
Sesepuh Walisongo
Setelah Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat, maka Sunan Ampel diangkat sebagai
sesepuh Walisongo, sebagai Mufti atau pemimpin agama Islam se Tanah Jawa.
Beberapa murid dan putra Sunan Ampel sendiri juga menjadi anggota Walisongo,
mereka adalah: Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga, Sunan
Muria, Sunan Kota atau Raden Patah, Sunan Kudus, Sunan Gunungjati.
Raden Patah atau Sunan Kota memang pernah menjadi anggota Walisongo
menggantikan kedudukan salah seorang wali yang meninggal dunia. Dengan
diangkatnya Sunan Ampel sebagai sesepuh maka para wali lain tunduk patuh kepada
kata-katanya. Termasuk fatwa beliau dalam memutuskan peperangan dengan pihak
Majapahit.
Para wali yang lebih muda menginginkan agar tahta Majapahit direbut dalam tempo
secepat-cepatnya. Tetapi Sunan Ampel berpendapat bahwa masalah tahta Majapahit
tidak perlu diserang secara langsung, karena kerajaan besar itu sesungguhnya
sudah keropos dari dalam. Tak usah diserang oleh Demak Bintoro pun sebenarnya
Majapahit akan segera runtuh. Para wali yang lebih muda menganggap Sunan Ampel
telah lamban dalam memberikan nasehat kepada Raden Patah.
“Mengapa Ramanda berpendapat demikian?” tanya Raden Patah terhitung menantunya
sendiri. “Karena aku tidak ingin di kemudian hari ada orang menuduh Raja Demak
Bintoro yang masih putra Majapahit Prabu Kertabumi telah berlaku durhaka yaitu
berani menyerang ayahandanya sendiri”, jawab Sunan Ampel dengan tenang.
“Lalu apa yang harus saya lakukan?” “Kau harus sabar menunggu sembari menyusun
kekuatan,” ujar Sunan Ampel. “Tak lama lagi Majapahit akan runtuh dari dalam.
Diserang adipati lain. Pada saat itulah kau berhak merebut hak warismu selaku
putra Prabu Kertabumi”.
“Majapahit diserang adipati lain? Apakah saya tidak berkewajiban membelanya?”
“Inilah ketentuan Tuhan,” sahut Sunan Ampel. “Waktu kejadiannya masih
dirahasiakan. Aku sendiri tidak tahu persis kapankah peristiwa itu akan
berlangsung. Yang jelas bukan kau adipati yang menyerang Majapahit itu”, Sunan
Ampel adalah Penasehat Politik Demak Bintoro. Sekaligus merangkap Pemimpin
Walisongo atau Mufti Agama se-Tanah Jawa. Maka fatwanya dipatuhi banyak orang.
Kekuatiran Sunan Ampel tersebut memang terbukti. Di kemudian hari ternyata ada
orang-orang pembenci Islam memutarbalikkan fakta sejarah. Mereka menuliskan
bahwa Majapahit jatuh diserang oleh kerajaan Demak Bintoro yang Rajanya adalah
putra Raja Majapahit sendiri. Dengan demikian Raden Patah dianggap sebagai Anak
Durhaka. Ini dapat anda lihat di dalam Serat Darmo Gandul maupun sejarah yang
ditulis para Sarjana yang membenci Islam.
Raden Patah dan para wali lainnya akhirnya tunduk patuh pada fatwa Sunan Ampel.
Tibalah saatnya Sunan Ampel wafat pada tahun 1478. Sunan Kalijaga diangkat
sebagai penasehat bagian politik Demak. Sunan Giri diangkat sebagai pengganti
Sunan Ampel sebagai Mufti, pemimpin para Wali dan pemimpin agama se-Tanah Jawa.
Sesepuh yang selalu dimintai pertimbangannya. Setelah Sunan Giri diangkat
sebagai Mufti sikapnya terhadap Majapahit sekarang berubah. Ia menyetujui usul
Aliran Tuban untuk mencari fatwa kepada Raden Patah agar menyerang Majapahit.
Mengapa Sunan Giri bersikap demikian? Karena pada tahun 1478 Kerajaan Majapahit
diserang oleh Prabu Rana Wijaya atau Girindrawardhana dari Kadipaten Kediri
atau Keling. Dengan demikian sudah tepatlah jika Sunan Giri menyetujui
penyerangan Demak atas Majapahit. Sebab pewaris sah tahta kerajaan Majapahit
adalah Raden Patah selaku putera Raja Majapahit yang terakhir.
Demak kemudian bersiap-siap menyusun kekuatan. Namun belum lagi serangan
dilancarkan, Prabu Rana Wijaya keburu tewas diserang oleh Prabu Udara pada
tahun 1498.
Pada tahun 1512, Prabu Udara selaku Raja Majapahit merasa terancam kedudukannya
karena melihat kedudukan Demak yang didukung Sunan Giri Kedaton semakin kuat
dan mapan. Prabu Udara kawatir jika terjadi peperangan akan menderita
kekalahan, maka dia minta bekerjasama dan minta bantuan Portugis di Malaka.
Padahal Putera Mahkota Demak yaitu Pati Unus pada tahun 1511 telah menyerang
Portugis di Malaka.
Sejarah mencatat bahwa Prabu Udara telah mengirim utusan ke Malaka untuk
menemui Alfonso d’Albuquerque untuk menyerahkan hadiah berupa 20 genta
(gamelan), sepotong kain panjang bernama Beirami tenunan Kambayat, 13 batang
lembing yang ujungnya berbesi dan sebagainya. Maka tidak salah jika pada tahun
1517 Demak menyerang Prabu Udara yang merampas tahta Majapahit secara tidak
sah. Dengan demikian jatuhlah Majapahit ke tangan Demak. Seandainya Demak tidak
segera menyerang Majapahit tentu bangsa Portugis akan menjajah tanah Jawa jauh
lebih cepat daripada bangsa Belanda. Setelah Majapahit jatuh pusaka kerajaan
diboyong ke Demak Bintoro. Termasuk Mahkota Rajanya. Raden Patah diangkat
sebagai Raja Demak yang pertama.
Sunan Ampel juga turut membantu mendirikan Masjid Agung Demak yang didirikan
pada tahun 1477 M. Salah satu di antara empat tiang utama Masjid Demak hingga
sekarang masih diberi nama sesuai dengan yang membuatnya yaitu Sunan Ampel.
Beliau pula yang pertama kali menciptakan Huruf Pegon atau Tulisan Arab
berbunyi bahasa Jawa. Dengan huruf pegon ini beliau dapat menyampaikan
ajaran-ajaran Islam kepada muridnya. Hingga sekarang huruf pegon tetap dipakai
sebagai bahan pelajaran agama Islam di kalangan pesantren.
Penyelamat Akidah
Sikap Sunan Ampel terhadap adat istiadat lama sangat berhati-hati, hal ini
didukung oleh Sunan Giri dan Sunan Drajad. Seperti yang pernah tersebut dalam
permusyawaratan para wali di Masjid Agung Demak. Pada waktu itu Sunan Kalijaga
mengusulkan agar adat istiadat Jawa seperti selamatan, bersaji, kesenian wayang
dan gamelan dimasuki rasa keislaman. Mendengar pendapat Sunan Kalijaga tersebut
bertanyalah Sunan Ampel “Apakah tidak mengkawatirkan di kemudian hari bahwa
adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal
dari agama Islam? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid’ah.?”
Dalam musyawarah itu Sunan Kudus menjawab pertanyaan Sunan Ampel,”Saya setuju
dengan pendapat Sunan Kalijaga, bahwa adat istiadat lama yang masih bisa
diarahkan kepada agama Tauhid maka kita akan memberinya warna Islam. Sedang
adat dan kepercayaan lama yang jelas-jelas menjurus kearah kemusyrikan kita
tinggal sama sekali. Sebagai misal gamelan dan wayang kulit, kita bisa
memberinya warna Islam sesuai dengan selera masyarakat. Adapun tentang
kekawatiran Kanjeng Sunan Ampel, saya mempunyai keyakinan bahwa di belakang
hari akan ada orang yang menyempurnakannya.”
Sebaliknya, adanya pendapat Sunan Ampel yang menginginkan Islam harus disiarkan
dengan murni dan konsekuen juga mengandung hikmah kebenaran yang hakiki,
sehingga membuat ummat semakin berhati-hati menjalankan syariat agama secara
benar dan bersih dari segala macam bid’ah. Inilah jasa Sunan Ampel yang sangat
besar, dengan peringatan inilah beliau telah menyelamatkan aqidah ummat agar
tidak tergelincir ke lembah musyrik.
Sunan Ampel wafat pada tahun 1478 M, beliau dimakamkan di sebelah barat Masjid
Ampel.
Murid-murid Sunan Ampel
Murid-murid Sunan Ampel itu banyak sekali, baik dari kalangan bangsawan dan
para pangeran Majapahit maupun dari kalangan rakyat jelata. Bahkan beberapa
anggota Walisongo adalah murid-murid beliau sendiri.
Kali ini kami tampilkan dua kisah murid Sunan Ampel yang makamnya tak jauh dari
lokasi Sunan Ampel dimakamkan, yaitu:
Kisah Mbah Soleh
Mbah Soleh adalah salah satu dari sekian banyak murid Sunan Ampel yang
mempunyai karomah atau keistimewaan.
Adalah sebuah keajaiban yang tak ada duanya, ada seorang manusia dikubur hingga
sembilan kali. Ini bukan cerita buatan melainkan ada buktinya. Di sebelah timur
Masjid Agung Sunan Ampel ada sembilan kuburan. Itu bukan kuburan sembilan orang
tapi hanya kuburan seorang yaitu murid Sunan Ampel yang bernama Mbah Soleh.
Kisahnya demikian, Mbah Soleh adalah tukang sapu masjid Ampel di masa hidupnya
Sunan Ampel. Apabila menyapu lantai Masjid sangatlah bersih sekali sehingga
orang yang sujud di masjid tanpa sajadah tidak merasa ada debunya.
Ketika Mbah Soleh wafat beliau dikubur di depan masjid. Ternyata tidak ada
santri yang sanggup mengerjakan pekerjaan Mbah Soleh yaitu menyapu lantai
masjid dengan bersih sekali. Maka sejak ditinggal Mbah Soleh masjid itupun
lantainya menjadi kotor. Kemudian terucaplah kata-kata Sunan Ampel. “Bila Mbah
Soleh masih hidup tentulah masjid ini menjadi bersih”.
Mendadak Mbah Soleh ada di pengimaman masjid sedang menyapu lantai. Seluruh
lantai pun sekarang menjadi bersih lagi. Orang-orang pada terheran melihat Mbah
Soleh hidup lagi.
Beberapa bulan kemudian Mbah Soleh wafat lagi dan dikubur disamping kuburannya
dulu. Masjid menjadi kotor lagi, lalu terucaplah kata-kata Sunan Ampel seperti
dulu. Mbah Soleh pun hidup lagi. Hal ini berlangsung beberapa kali sehingga
kuburannya ada delapan. Pada saat kuburan Mbah Soleh ada delapan Sunan Ampel
meninggal dunia. Beberapa bulan kemudian Mbah Soleh meninggal dunia, sehingga
kuburan Mbah Soleh ada sembilan. Kuburan yang terakhir berada di ujung paling
timur.
Jika anda sempat berziarah ke makam Sunan Ampel, jangan lupa untuk berdo’a di
depan makam Mbah Soleh.
Kisah Mbah Sonhaji
Mbah Sonhaji sering disebut Mbah Bolong. Apa pasalnya? Ini bukan gelar kosong
atau sekedar olok-olokan. Beliau adalah salah seorang murid Sunan Ampel yang
juga mempunyai karomah.
Kisahnya demikian. Pada waktu pembangunan masjid Agung Ampel, Sonhaji lah yang
ditugasi mengatur tata letak pengimamannya. Sonhaji bekerja dengan tekun dan
penuh perhitungan, jangan sampai letak pengimaman masjid itu tidak menghadap ke
arah kiblat. Tapi setelah bangunan pengimaman itu jadi banyak orang yang
meragukan keakuratannya.
“Apa betul letak pengimaman masjid ini sudah menghadap ke kiblat?” demikian
tanya orang yang meragukan pekerjaan Sonhaji. Sonhaji tidak menjawab, melainkan
melubangi dinding pengimaman sebelah barat lalu berkata,”Lihatlah ke dalam
lubang ini, kalian akan tahu apakah pengimaman ini sudah menghadap kiblat atau
belum?”
Orang-orang itu segera melihat ke dalam lubang yang dibuat Sonhaji. Ternyata di
dalam lubang itu mereka dapat melihat Ka’bah yang berada di Mekah. Orang-orang
pada melongo, terkejut, kagum dan akhirnya tak berani meremehkan Sonhaji lagi.
Dan sejak saat itu mereka lebih bersikap hormat kepada Sonhaji dan mereka
memberinya julukan Mbah Bolong.
Dari kisah karomah para wali ataupun para murid wali, seyogyanya menjadi
pelajaran bagi mereka yang masih hidup. Ambil contoh, kisah Mbah Soleh di atas,
seharusnya mereka yang masih hidup mau meneladani sifat dan sikap Mbah Soleh
yang menyukai Masjidnya selalu bersih, karena masjid merupakan tempat yang
perlu dijaga kebersihan dan kesuciannya.
Begitulah riwayat singkat Sunan Ampel dan 2 orang muridnya. Semoga kisah mereka
bisa menjadi pelajaran hidup bagi kita sebagai generasi penerus mereka, dan
semoga amal baik mereka mendapat balasan yang baik dari Yang Maha Pengasih dan
Maha Penyayang. Amin.
3. Sunan Giri
Di awal abad 14 M, Kerajaan Blambangan diperintah oleh Prabu Menak Sembuyu,
salah seorang keturunan Prabu Hayam Wuruk dari kerajaan Majapahit. Raja dan
rakyatnya memeluk agama Hindu dan ada sebagian yang memeluk agama Budha.
Pada suatu hari Prabu Menak Sembuyu gelisah, demikian pula permaisurinya,
pasalnya putri mereka satu-satunya telah jatuh sakit selama beberapa bulan.
Sudah diusahakan mendatangkan tabib dan dukun untuk mengobati tapi sang putri
belum juga sembuh.
Memang pada waktu itu kerajaan Blambangan sedang dilanda pegebluk atau wabah
penyakit. Banyak sudah korban berjatuhan. Menurut gambaran babad Tanah Jawa
esok sakit sorenya mati. Seluruh penduduk sangat prihatin, berduka cita, dan
hampir semua kegiatan sehari-hari menjadi macet total.
Atas saran permaisuri Prabu Menak Sembuyu kemudian mengadakan sayembara, siapa
yang dapat menyembuhkan putrinya akan diambil menantu dan siapa yang dapat
mengusir wabah penyakit di Blambangan akan diangkat sebagai Bupati atau Raja
Muda. Sayembara disebar di hampir pelosok negeri. Sehari, dua hari, seminggu
bahkan berbulan-bulan kemudian tak ada seorang pun yang menyatakan
kesanggupannya untuk mengikuti sayembara itu.
Permaisuri makin sedih hatinya. Prabu Menak Sembuyu berusaha menghibur istrinya
dengan menugaskan Patih Bajul Sengara untuk mencari pertapa sakti guna
mengobati penyakit putrinya. Diiringi beberapa prajurit pilihan, Patih Bajul
Sengara berangkat melaksanakan tugasnya. Para pertapa biasanya tinggal di
puncak atau di lereng-lereng gunung, maka kesanalah Patih Bajul Sengara
mengajak pengikutnya mencari orang-orang sakti.
Patih Bajul Sengara akhirnya bertemu dengan Resi Kandabaya yang mengetahui
adanya seorang tokoh sakti dari negeri seberang. Orang yang dimaksud adalah
Syekh Maulana Ishak yang sedang berdakwah secara sembunyi-sembunyi di negeri
Blambangan.
Patih Bajul Sengara dapat bertemu dengan Syekh Maulana Ishak yang sedang
bertafakkur di sebuah goa. Setelah terjadi negosiasi bahwa Raja dan rakyat
Blambangan mau diajak memeluk agama Islam maka Syekh Maulana Ishak bersedia
datang ke istana Blambangan. Ia memang piawai di bidang ilmu ketabiban, putri
Dewi Sekardadu sembuh setelah diobati. Pegebluk juga lenyap dari wilayah
Blambangan. Sesuai janji Raja maka Syekh Maulana Ishak dikawinkan dengan Dewi
Sekardadu. Diberi kedudukan sebagai Adipati untuk menguasai sebagian wilayah
Blambangan.
Hasutan Sang Patih
Tujuh bulan sudah Syekh Maulana Ishak menjadi adipati baru di Blambangan. Makin
hari semakin bertambah banyak saja penduduk Blambangan yang masuk agama Islam.
Sementara Patih Bajul Sengara tak henti-hentinya mempengaruhi sang Prabu dengan
hasutan-hasutan jahatnya. Hati Prabu Menak Sembuyu jadi panas karena mengetahui
hal ini.
Patih Bajul Sengara sendiri tanpa sepengetahuan sang Prabu sudah mengadakan
teror pada pengikut Syekh Maulana Ishak. Tidak sedikit penduduk Kadipaten yang
dipimpin Syekh Maulana Ishak diculik, disiksa dan dipaksa kembali kepada agama
lama. Walau kegiatan itu dilakukan secara rahasia dan sembunyi-sembunyi pada
akhirnya Syekh Maulana Ishak mengetahui juga.
Pada saat itu Dewi Sekardadu sedang hamil tujuh bulan. Syekh Maulana Ishak
sadar, bila hal itu diteruskan akan terjadi pertumpahan darah yang seharusnya
tidak perlu. Kasihan rakyat jelata yang harus menanggung akibatnya. Maka dia
segera berpamit kepada istrinya untuk pergi meninggalkan Blambangan.
Demikianlah, pada tengah malam, dengan hati berat karena harus meninggalkan
istri tercinta yang hamil tujuh bulan, Syekh Maulana Ishak berangkat
meninggalkan Blambangan seorang diri. Esok harinya sepasukan besar prajurit
Blambangan yang dipimpin Patih Bajul Sengara menerobos masuk wilayah Kadipaten
yang sudah ditinggalkan Syekh Maulana Ishak. Tentu saja Patih kecele, walau
seluruh isi istana diobrak-abrik dia tidak menemukan Syekh Maulana Ishak yang
sangat dibencinya.
Dua bulan kemudian dari rahim Dewi Sekardadu lahir bayi laki-laki yang elok
rupanya. Sesungguhnya Prabu Menak Sembuyu dan permaisurinya merasa senang dan
bahagia melihat kehadiran cucunya yang montok dan rupawan itu. Bayi itu lain
daripada yang lain, wajahnya mengeluarkan cahaya terang.
Lain halnya dengan Patih Bajul Sengara. Dibiarkannya bayi itu mendapat limpahan
kasih sayang keluarga istana selama empat puluh hari. Sesudah itu dia menghasut
Prabu Menak Sembuyu. Kebetulan pada saat itu wabah penyakit berjangkit lagi di
Blambangan. Maka Patih Bajul Sengara bikin ulah lagi.
“Bayi itu! Benar gusti Prabu! Cepat atau lambat bayi itu akan menjadi bencana
di kemudian hari. Wabah penyakit inipun menurut dukun-dukun terkenal di
Blambangan ini disebabkan adanya hawa panas yang memancar dari jiwa bayi itu!”
kilah Patih Bajul Sengara dengan alasan yang dibuat-buat.
Sang Prabu tidak cepat mengambil keputusan, dikarenakan dalam hatinya dia
terlanjur menyukai kehadiran cucunya itu, namun sang Patih tiada bosan-bosannya
menteror dengan hasutan dan tuduhan keji akhirnya sang Prabu terpengaruh juga.
Walau demikian tiada tega juga dia memerintahkan pembunuhan atas cucunya itu
secara langsung. Bayi yang masih berusia empat puluh hari akhirnya dimasukkan
ke dalam peti dan diperintahkan untuk dibuang ke samodra.
Joko Samodra
Pada suatu malam ada sebuah perahu dagang dari Gresik melintasi Selat Bali.
Ketika perahu itu berada di tengah-tengah Selat Bali tiba-tiba terjadi
keanehan, perahu itu tidak dapat bergerak, maju tak bisa mundur pun tak bisa.
Nakhoda memerintahkan awak kapal untuk memeriksa sebab-sebab kemacetan itu,
mungkinkah perahunya membentur batu karang. Setelah diperiksa ternyata perahu
itu hanya menabrak sebuah peti berukir indah. Seperti peti milik kaum bangsawan
yang digunakan menyimpan barang berharga. Nakhoda memerintahkan mengambil peti
itu. Diatas perahu peti itu dibuka, semua orang terkejut karena didalamnya
terdapat seorang bayi mungil yang bertubuh montok dan rupawan. Nakhoda merasa
gembira dapat menyelamatkan jiwa bayi mungil itu, tapi juga mengutuk orang yang
tega membuang bayi itu ke tengah lautan, sungguh orang yang tidak berperi
kemanusiaan.
Nakhoda kemudian memerintahkan awak kapal untuk melanjutkan pelayaran ke Pulau
Bali. Tapi perahu tak dapat bergerak maju. Ketika perahu diputar dan diarahkan
ke Gresik ternyata perahu itu melaju dengan cepatnya.
Di hadapan Nyai Ageng Pinatih janda kaya pemilik kapal Nakhoda berkata sambil
membuka peti itu. “Peti inilah yang menyebabkan kami kembali dalam waktu
secepat ini. Kami tak dapat meneruskan pelayaran ke Pulau Bali,” kata sang
Nakhoda.
“Bayi…? Bayi siapa ini?”, gunam Nyai Ageng Pinatih sembari mengangkat bayi itu
dari dalam peti. “Kami menemukannya di tengah samodra, Selat Bali, jawab
Nakhoda kapal.
Bayi itu kemudian mereka serahkan kepada Nyai Ageng Pinatih untuk diambil
sebagai anak angkat. Memang sudah lama dia menginginkan seorang anak. Karena
bayi itu ditemukan di tengah samodra maka Nyai Ageng Pinatih kemudian
memberinya nama Joko Samodra.
Ketika berumur 11 tahun, Nyai Ageng Pinatih mengantarkan Joko Samodra untuk
berguru kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel di Surabaya. Menurut beberapa sumber
mula pertama Joko Samodra setiap hari pergi ke Surabaya dan sorenya kembali ke
Gresik. Sunan Ampel kemudian menyarankan agar anak itu mondok saja di Pesantren
Ampeldenta supaya lebih konsentrasi dalam mempelajari agama Islam.
Pada suatu malam, seperti biasa Raden Rahmat hendak mengambil air wudhu guna
melaksanakan shalat tahjuud mendoakan murid muridnya dan mendoakan ummat agar
selamat di dunia dan akhirat. Sebelum berwudhu Raden Rahmat menyempatkan diri
melihat-lihat para santri yang tidur di asrama.
Tiba-tiba Raden Rahmat terkejut. Ada sinar terang memancar dari salah seorang
santrinya. Selama beberapa saat beliau tertegun, sinar terang itu menyilaukan
mata, untuk mengetahui siapakah murid yang wajahnya bersinar itu maka Sunan
Ampel memberi ikatan pada murid itu.
Esok harinya, sesudah shalat subuh. Sunan Ampel memanggil murid-muridnya itu.
“Siapa di antara kalian yang waktu bangun tidur kain sarungnya ada ikatan?”
tanya Sunan Ampel. “Saya Kanjeng Sunan…” acung Joko Samodra.
Melihat yang mengacungkan tangan Joko Samodra, Sunan Ampel makin yakin bahwa
anak itu pastilah bukan anak sembarangan. Kebetulan pada saat itu Nyai Ageng
Pinatih datang untuk menengok Joko Samodra, kesempatan itu digunakan Sunan
Ampel untuk bertanya lebih jauh tentang asal-usul Joko Samodra.
Nyai Ageng Pinatih menjawab sejujur-jujurnya. Bahwa Joko Samodra ditemukan di
tengah selat Bali ketika masih bayi. Peti yang digunakan untuk membuang bayi
itu hingga sekarang masih tersimpan rapi di rumah Nyai Ageng Pinatih.
Teringat pada pesan Syekh Maulana Ishak sebelum berangkat ke negeri Pasai maka
Sunan Ampel kemudian mengusulkan pada Nyai Ageng Pinatih agar nama anak itu
diganti dengan nama Raden Paku. Nyai Ageng Pinatih menurut saja apa kata Sunan
Ampel, dia percaya penuh kepada Wali besar yang sangat dihormati masyarakat
bahkan juga masih terhitung seorang Pangeran Majapahit itu.
Raden Paku
Sewaktu mondok di pesantren Ampeldenta, Raden Paku sangat akrab bersahabat
dengan putra Raden Rahmat yang bernama Raden Makdum Ibrahim. Keduanya bagai
saudara kandung saja, saling menyayangi dan saling mengingatkan.
Setelah berusia 16 tahun, kedua pemuda itu dianjurkan untuk menimba pengetahuan
yang lebih tinggi di Negeri Seberang sambil meluaskan pengalaman.
“Di negeri Pasai banyak orang pandai dari berbagai negeri. Disana juga ada
ulama besar yang bergelar Syekh Awwallul Islam. Dialah ayah kandungmu yang nama
aslinya adalah Syekh Maulana Ishak. Pergilah kesana tuntutlah ilmunya yang
tinggi dan teladanilah kesabarannya dalam mengasuh para santri dan berjuang
menyebarkan agama Islam. Hal itu akan berguna kelak bagi kehidupanmu di masa
yang akan datang”.
Pesan itu dilaksanakan oleh Raden Paku dan Raden Makdum Ibrahim. Dan begitu
sampai di negeri Pasai keduanya disambut gembira, penuh rasa haru dan bahagia
oleh Syekh Maulana Ishak ayah kandung Raden Paku yang tak pernah melihat
anaknya sejak bayi.
Raden Paku menceritakan riwayat hidupnya sejak masih kecil ditemukan di tengah
samodra dan kemudian diambil anak angkat oleh Nyai Ageng Pinatih dan berguru
kepada Sunan Ampel di Surabaya.
Sebaliknya Syekh Maulana Ishak kemudian menceritakan pengalamannya di saat
berdakwah di Blambangan sehingga terpaksa harus meninggalkan istri yang sangat
dicintainya.
Raden Paku menangis sesenggukan mendengar kisah itu. Bukan menangisi kemalangan
dirinya yang telah disia-siakan kakeknya yaitu Prabu Menak Sembuyu tetapi
memikirkan nasib ibunya yang tak diketahui lagi tempatnya berada. Apakah ibunya
masih hidup atau sudah meninggal dunia.
Di negeri Pasai banyak ulama besar dari negara asing yang menetap dan membuka
pelajaran agama Islam kepada penduduk setempat. Hal ini tidak disia-siakan oleh
Raden Paku dan Maulana Makdum Ibrahim. Kedua pemuda itu belajar agama dengan
tekun, baik kepada Syekh Maulana Ishak sendiri maupun kepada guru-guru agama
lainnya.
Ada yang beranggapan bahwa Raden Paku dikaruniai ilmu laduni yaitu ilmu yang
langsung berasal dari Tuhan, sehingga kecerdasan otaknya seolah tiada
bandingnya. Disamping belajar ilmu Tauhid mereka juga mempelajari ilmu Tasawuf
dari ulama Iran, Baghdad dan Gujarat yang banyak menetap di negeri Pasai.
Ilmu yang dipelajari itu berpengaruh dan menjiwai kehiduapn Raden Paku dalam
perilakunya sehari-hari sehingga kentara benar bila ia mempunyai ilmu tingkat
tinggi, ilmu yang sebenarnya hanya pantas dimiliki ulama yang berusia lanjut
dan berpengalaman. Gurunya kemudian memberinya gelar Syekh Maulana A’inul
Yaqin.
Setelah tiga tahun di Pasai, dan masa belajar itu sudah dianggap cukup oleh
Syekh Maulana Ishak, kedua pemuda itu diperintahkan kembali ke tanah Jawa. Oleh
ayahnya, Raden Paku diberi sebuah bungkusan kain putih berisi tanah. “Kelak,
bila tiba masanya dirikanlah Pesantren di Gresik, carilah tanah yang sama betul
dengan tanah dalam bungkusan ini disitulah kau membangun Pesantren”, demikian
pesan ayahnya.
Kedua pemuda itu kemudian kembali ke Surabaya. Melaporkan segala pengalamannya
kepada Sunan Ampel. Sunan Ampel memerintah Makdum Ibrahim berdakwah di daerah
Tuban. Sedang Raden Paku diperintah pulang ke Gresik kembali ke ibu angkatnya
yaitu Nyai Ageng Pinatih.
Membersihkan Diri
Pada usia 23 tahun, Raden Paku diperintah oleh ibunya untuk mengawal barang
dagangan ke Pulau Banjar atau Kalimantan. Tugas ini diterimanya dengan senang
hati. Nakhoda dapat diserahkan kepada pelaut kawakan yaitu Abu Hurairah. Walau
pucuk pimpinan berada di tangan Abu Hurairah tapi Nyai Ageng Pinatih memberi
kuasa pula kepada Raden Paku untuk ikut memasarkan dagangan di Pulau Banjar.
Tiga buah kapal berangkat meninggalkan pelabuhan Gresik dengan penuh muatan.
Biasanya, sesudah dagangan itu terjual habis di Pulau Banjar maka Abu Hurairah
diperintah membawa barang dagangan dari Pulau Banjar yang sekiranya laku di
Pulau Jawa, seperti rotan, damar, emas, dan lain-lain. Dengan demikian
keuntungan yang diperoleh menjadi berlipat ganda. Tapi kali ini tidak, sesudah
kapal merapat di pelabuhan Banjar, Raden Paku membagi-bagikan barang dagangan
dari Gresik itu secara gratis kepada penduduk setempat. Tentu saja hal ini
membuat Abu Hurairah menjadi cemas. Dia segera memprotes tindakan Raden Paku.
“Raden …kita pasti akan mendapat murka Nyai Ageng Pinatih. Mengapa barang
dagangan kita diberikan secara cuma-cuma?” “Jangan kawatir paman”, kata Raden
Paku. “Tindakan saya ini sudah tepat. Penduduk Banjar pada saat ini sedang
dilanda musibah. Mereka dilanda kekeringan dan kurang pangan. Sedangkan ibu
sudah terlalu banyak mengambil keuntungan dari mereka. Sudahkah ibu memberikan
hartanya dengan membayar zakat kepada mereka? Saya kira belum, nah sekarang lah
saatnya ibu mengeluarkan zakat untuk membersihkan diri”.
“Itu diluar kewenangan saya Raden”, kata Abu Hurairah. “Jika kita tidak
memperoleh uang lalu dengan apa kita mengisi perahu supaya tidak oleng dihantam
ombak dan badai?” Raden Paku terdiam beberapa saat. Dia sudah maklum bila
dagangan habis biasanya Abu Hurairah akan mengisi kapal atau perahu dengan
barang dagangan dari Kalimantan. Tapi sekarang tak ada uang dengan apa dagangan
Pulau Banjar akan dibeli.
“Paman tak usah risau”, kata Raden Paku dengan tenangnya “Supaya kapal tidak
oleng isilah karung-karung kita dengan batu dan pasir”. Memang benar, mereka
dapat berlayar hingga di pantai Gresik dalam keadaan selamat. Tapi hati Abu
Hurairah menjadi kebat-kebit sewaktu berjalan meninggalkan kapal untuk
menghadap Nyai Ageng Pinatih.
Dugaan Abu Hurairah memang tepat. Nyai Ageng Pinatih terbakar amarahnya demi
mendengar perbuatan Raden Paku yang dianggap tidak normal itu. “Sebaiknya ibu
lihat dahulu!” pinta Raden Paku. “Sudah jangan banyak bicara, buang saja pasir
dan batu itu. Hanya mengotori karung-karung kita saja!”, hardik Nyai Ageng
Pinatih. Tetapi ketika awak kapal membuka karung-karung itu, mereka terkejut.
Karung-karung itu isinya berubah menjadi barang-barang dagangan yang biasa
mereka bawa dari Banjar, seperti rotan, damar, kain, dan emas serta intan. Bila
ditaksir harganya jauh lebih besar ketimbang barang dagangan yang disedekahkan
kepada penduduk Banjar.
Perkawinan Raden Paku
Alkisah, ada seorang bangsawan Majapahit bernama Ki Ageng Supa Bungkul. Ia
mempunyai sebuah pohon delima yang aneh di depan pekarangan rumahnya. Setiap
kali ada orang hendak mengambil buah delima yang berbuah satu itu pasti
mengalami nasib celaka. Kalau tidak ditimpa penyakit berat tentulah orang
tersebut meninggal dunia. Suatu ketika Raden Paku tanpa disengaja lewat di
depan pekarangan Ki Ageng Bungkul. Begitu dia berjalan di bawah pohon delima
tiba-tiba buah pohon itu jatuh mengenai kepala Raden Paku.
Ki Ageng Bungkul tiba-tiba muncul mencegat Raden Paku, dan ia berkata,”Kau
harus kawin dengan putriku, Dewi Wardah”.
Memang, Ki Ageng Bungkul telah mengadakan sayembara, siapa saja yang dapat
memetik buah delima itu dengan selamat maka ia akan dijodohkan dengan putrinya
yang bernama Dewi Wardah. Raden Paku bingung menghadapi hal itu. Maka peristiwa
itu disampaikan kepada Sunan Ampel.
“Tak usah bingung, Ki Ageng Bungkul itu seorang muslim yang baik. Aku yakin
Dewi Wardah juga muslimah yang baik. Karena hal itu sudah menjadi niat Ki Ageng
Bungkul kuharap kau tidak mengecewakan niat baiknya itu”, demikian kata Sunan
Ampel.
“Tapi…bukankah saya hendak menikah dengan putri Kanjeng Sunan yaitu Dewi
Murtasiah?”, ujar Raden Paku. “Tidak mengapa”, kata Sunan Ampel. “Sesudah
melangsungkan akad nikah dengan Dewi Murtasiah selanjutnya kau akan
melangsungkan perkawinanmu dengan Dewi Wardah”.
Itulah liku-liku perjalanan hidup Raden Paku. Dalam sehari ia menikah dua kali.
Menjadi menantu Sunan Ampel, kemudian menjadi menantu Ki Ageng Bungkul seorang
bangsawan Majapahit yang hingga sekarang makamnya terawat baik di Surabaya.
Sesudah berumah tangga, Raden Paku makin giat berdagang dan berlayar antar
pulau. Sambil berlayar itu pula beliau menyiarkan agama Islam pada penduduk
setempat sehingga namanya cukup terkenal di kepulauan Nusantara.
Lama-lama kegiatan dagang tersebut tidak memuaskan hatinya. Ia ingin
berkonsentrasi menyiarkan agama Islam dengan mendirikan pondok pesantren. Iapun
minta izin kepada ibunya untuk meninggalkan dunia perdagangan. Nyai Ageng
Pinatih yang kaya raya itu tidak keberatan. Andaikata hartanya yang banyak itu
dimakan setiap hari dengan anak dan menantunya rasanya tiada akan habis,
terlebih Juragan Abu Hurairah orang kepercayaan Nyai Ageng Pinatih menyatakan
kesanggupannya untuk mengurus seluruh kegiatan perdagangan miliknya, maka wanita
itu ikhlas melepaskan Raden Paku yang hendak mendirikan pesantren.
Mulailah Raden Paku bertafakkur di goa yang sunyi, 40 hari 40 malam, beliau
tidak keluar goa, hanya bermunajat kepada Allah. Tempat Raden Paku bertafakkur
itu hingga sekarang masih ada yaitu desa Kembangan dan Kebomas.
Usai bertafakkur teringatlah Raden Paku pada pesan ayahnya sewaktu belajar di
negeri Pasai. Diapun berjalan berkeliling untuk mencari daerah yang tanahnya
mirip dengan tanah yang dibawa dari negeri Pasai.
Melalui desa Margonoto, sampailah Raden Paku di daerah perbukitan yang hawanya
sejuk, hatinya terasa damai, iapun mencocokkan tanah yang dibawanya dengan
tanah di tempat itu. Ternyata cocok sekali. Maka di desa Sidomukti itulah ia
kemudian mendirikan pesantren. Karena tempat itu adalah dataran tinggi atau
gunung, maka dinamakan-lah Pesantren Giri. Giri dalam bahasa Sansekerta artinya
gunung.
Atas dukungan istri-istri dan ibunya juga dukungan spiritual dari Sunan Ampel,
tidak begitu lama, hanya dalam waktu tiga tahun Pesantren Giri sudah terkenal
ke seluruh Nusantara.
Di muka telah disebutkan, bahwa hanya dalam tempo waktu tiga tahun Sunan Giri
berhasil mengelola Pesantrennya hingga namanya terkenal ke seluruh Nusantara.
Menurut Dr. HJ. De Graaf, sesudah pulang dari pengembaraannya atau berguru ke
negeri Pasai, ia memperkenalkan diri kepada dunia, kemudian berkedudukan di
atas bukit di Gresik, dan ia menjadi orang pertama yang paling terkenal dari
Sunan-sunan Giri yang ada. Di atas gunung tersebut seharusnya ada istana karena
di kalangan masyarakat dibicarakan adanya Giri Kedaton (kerajaan Giri).
Murid-murid Sunan Giri berdatangan dari segala penjuru, seperti Maluku, Madura,
Lombok, Makasar, Hitu, dan Ternate. Demikian menurut De Graaf.
Menurut Babad Tanah Jawa murid-murid Sunan Giri itu justru bertebaran hampir di
seluruh penjuru benua besar, seperti Eropa (Rum), Arab, Mesir, Cina dan
lain-lain. Semua itu adalah penggambaran nama Sunan Giri sebagai ulama besar
yang sangat dihormati orang pada jamannya. Disamping pesantrennya yang besar ia
juga membangun masjid sebagai pusat ibadah dan pembentukkan iman ummatnya.
Untuk para santri yang datang dari jauh beliau juga membangun asrama yang luas.
Di sekitar bukit tersebut sebenarnya dahulu jarang dihuni oleh penduduk
dikarenakan sulitnya mendapatkan air. Tetapi dengan adanya Sunan Giri masalah
air itu dapat diatasi. Cara Sunan Giri membuat sumur atau sumber air itu sangat
aneh dan gaib hanya beliau seorang yang mampu melakukannya.
Peresmian Masjid Demak
Dalam peresmian Masjid Demak, Sunan Kalijaga mengusulkan agar dibuka dengan
pertunjukkan wayang kulit yang pada waktu itu bentuknya masih wayang beber
yaitu gambar manusia yang dibeber pada sebuah kulit binatang.
Usul Sunan Kalijaga ditolak oleh Sunan Giri, karena wayang yang bergambar
manusia itu haram hukumnya dalam ajaran Islam, demikian menurut Sunan Giri.
Jika Sunan Kalijaga mengusulkan peresmian Masjid Demak itu dengan membuka
pagelaran wayang kulit, kemudian diadakan dakwah dan rakyat berkumpul boleh
masuk setelah mengucapkan syahadat, maka Sunan Giri mengusulkan agar Masjid
Demak diresmikan pada saat hari Jum’at sembari melaksanakan shalat jamaah
Jum’at.
Sunan Kalijaga yang berjiwa besar kemudian mengadakan kompromi dengan Sunan
Giri. Sebelumnya Sunan Kalijaga telah merubah bentuk wayang kulit sehingga
gambarannya tidak bisa disebut sebagai gambar manusia lagi, lebih mirip
karikatur seperti bentuk wayang yang ada sekarang ini.
Sunan Kalijaga membawa wayang kreasinya itu di hadapan sidang para Wali. Karena
tak bisa disebut sebagai gambar manusia maka akhirnya Sunan Giri menyetujui
wayang kulit itu digunakan sebagai media dakwah.
Perubahan bentuk wayang kulit itu adalah dikarenakan sanggahan Sunan Giri,
karena itu, Sunan Kalijaga memberi tanda khusus pada momentum penting itu.
Pemimpin para dewa dalam pewayangan oleh Sunan Kalijaga dinamakan Sang Hyang
Girinata, yang arti sebenarnya adalah Sunan Giri yang menata.
Maka perdebatan tentang peresmian Masjid Demak bisa diatasi. Peresmian itu akan
diawali dengan shalat Jum’at, kemudian diteruskan dengan pertunjukkan wayang
kulit yang dimainkan oleh ki Dalang Sunan Kalijaga.
Jasa-jasa Sunan Giri
Jasanya yang terbesar tentu saja perjuangannya dalam meyebarkan agama Islam di
Tanah Jawa bahkan ke Nusantara, baik dilakukannya sendiri sewaktu masih muda
sambil berdagang ataupun melalui murid-muridnya yang ditugaskan ke luar pulau.
Beliau pernah menjadi hakim dalam perkara pengadilan Syekh Siti Jenar, seorang
wali yang dianggap murtad karena menyebarkan faham Pantheisme dan meremehkan
syariat Islam yang disebarkan para wali lainnya. Dengan demikian Sunan Giri
ikut menghambat tersebarnya aliran yang bertentangan dengan faham ahlus sunnah
wal jama’ah.
Keteguhannya dalam menyiarkan agama Islam secara murni dan konsekuen membawa
dampak positif bagi generasi Islam berikutnya. Islam yang disiarkannya adalah
Islam yang sesuai ajaran Nabi, tanpa dicampuri kepercayaan atau adat istiadat
lama.
Di bidang kesenian beliau juga berjasa besar, karena beliaulah yang pertama
kali menciptakan Asmaradana dan Pucung, beliau pula yang menciptakan tembang
dan tembang dolanan anak-anak yang bernafas Islam antara lain: Jamuran, Cublak
Cublak Suweng, Jithungan dan Delikan.
Diantara permainan anak-anak yang dicintainya ialah sebagai berikut: Di antara
anak-anak yang bermain ada yang menjadi pemburu, dan yang lainnya menjadi obyek
buruan. Mereka akan selamat dari kejaran pemburu bila telah berpegang pada
tonggal atau batang pohon yang telah ditentukan lebih dulu. Inilah permainan
yang disebut Jelungan. Arti permainan tersebut adalah seseorang yang sudah
berpegang teguh kepada agama Islam Tauhid maka ia akan selamat dari ajakan
setan atau iblis yang dilambangkan sebagai pemburu.
Sembari melakukan permainan yang disebut jelungan itu biasanya anak-anak akan
menyanyikan lagu Padhang Bulan:
“Padhang-padhang bulan, ayo gage dha dolanan,
Dolanane na ing latar,
Ngalap padhang padhang gilar-gilar,
Nundung begog hangetikar”.
(Malam terang bulan, marilah lekas bermain, bermain di halaman, mengambil di
halaman, mengambil manfaat benderangnya rembulan, mengusir gelap yang lari
terbirit-birit)
Maksud lagu dolanan tersebut ialah:
Agama Islam telah datang, maka marilah kita segera menuntut penghidupan, di
muka bumi ini, untuk mengambil manfaat dari agama Islam, agar hilang lenyaplah
kebodohan dan kesesatan.
Para Pengganti Sunan Giri
Sunan Giri atau Raden Paku lahir pada tahun 1442, memerintahkan kerajaan Giri
selama kurang lebih dua puluh tahun. Mulai tahun 1487 hingga tahun 1506.
Sewaktu memerintah Giri Kedaton beliau bergelar Prabu Satmata.
Pengaruh Sunan Giri ini sangat besar terhadap kerajaan-kerajaan Islam di Jawa
maupun di luar Jawa. Sebagai bukti adalah adanya kebiasaan bahwa apabila
seorang hendak dinobatkan menjadi raja haruslah memerlukan pengesahan dari
Sunan Giri.
Giri Kedaton atau Kerajaan Giri berlangsung selama hampir 200 tahun. Sesudah
Sunan Giri yang pertama meninggal dunia beliau digantikan anak keturunannya
yaitu:
1. Sunan Dalem
2. Sunan Sedomargi
3. Sunan Giri Prapen
4. Sunan Kawis Guwa
5. Panembahan Ageng Giri
6. Panembahan Mas Witana Sideng Rana
7. Pangeran Singonegoro (bukan keturuanan Sunan Giri)
8. Pangeran Singosari.
Pangeran Singosari ini berjuang gigih mempertahankan diri dari serbuan Sunan
Amangkurat II yang dibantu oleh VOC dan kapten Jonker. Serbuan ke Giri itu
adalah dalam rangka penumpasan pemberontakan yang dilakukan oleh Trunojoyo
seorang murid dari Pesantren Giri yang pernah menjungkirbalikkan Kraton
Surakarta dan bahkan pernah menjadi Raja di Kediri.
Pemberontakan Trunojoyo itu dilakukan karena tindakan sewenang-wenang dari
Sunan Amangkurat I yang pernah menumpas dan membunuh 6000 ulama Ahlus sunnah
wal jama’ah yang dituduh menyebarkan isu ketidakpuasan rakyat terhadap raja.
Padahal itu hanya fitnah dari orang-orang yang menjadi kaki tangan Sunan
Amangkurat I, mereka adalah para pengikut faham Manunggaling Kawula lan Gusti,
faham yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar yang ditentang Walisongo.
Sesudah Pangeran Singosari wafat pada tahun 1679, habislah kekuasaan Giri
Kedaton. Yang tinggal hanyalah makam-makam dan peninggalan Sunan Giri, yang
dirawat oleh juru kunci makam. Meski demikian kharismanya sebagai ulama besar,
wali terkemuka tetap abadi sepanjang masa. Itu bisa Anda buktikan dengan
melihat jumlah para peziarah yang tiap hari membanjiri makamnya.
4. Sunan Bonang
Brahmana dari India
Agama Islam yang menyebar luas di Tanah Jawa cukup menggemparkan masyarakat
dari belahan dunia lain. Termasuk para pendeta Brahmana dari India. Salah
seorang Brahmana bernama Sakyakirti merasa penasaran. Maka bersama beberapa
orang muridnya ia berlayar menuju Pulau Jawa. Dibawanya pula kitab-kitab
referensi yang telah dipelajari untuk dipergunakan berdebat dengan penyebar
Agama Islam di Tanah Jawa.
“Aku Brahmana Sakyakirti, akan menantang Sunan Bonang untuk berdebat dan adu
kesaktian”, ujar Brahmana itu sembari berdiri di atas geladak di buritan kapal
layar. “Jika dia kalah maka akan kutebas batang lehernya. Jika dia yang menang
aku akan bertekuk lutut untuk mencium telapak kakinya. Akan kuserahkan jiwa
ragaku kepadanya”.
Murid-muridnya, yang selalu berdiri dan mengikutinya dari belakang menjadi
saksi atas sumpah yang diucapkan di tengah samudera. Namun ketika kapal layar
yang ditumpanginya sampai di perairan Tuban, mendadak laut yang tadinya tenang
tiba-tiba bergolak hebat. Angin dari segala penjuru seolah berkumpul jadi satu,
menghantam air laut, sehingga menimbulkan badai setinggi bukit.
Dengan kesaktiannya Brahmana Sakyakirti mencoba menggempur badai yang hendak
menerjang kapal layarnya. Satu dua kali hal itu dapat dilakukannya namun
terjangan ombak yang kelima kali membuat kapal layarnya langsung tenggelam ke
dalam laut. Dengan susah payah dia mencabut beberapa batang balok kayu untuk
menyelamatkan diri dan menolong beberapa orang muridnya agar jangan sampai
tenggelam ke dasar samudera.
Walaupun pada akhirnya ia dan para pengikutnya berhasil menyelamatkan diri,
namun kitab-kitab referensi yang hendak dipergunakan untuk berdebat dengan
Sunan Bonang telah tenggelam ke dasar laut. Padahal kitab-kitab itu didapatkannya
dengan susah payah. Cara mempelajarinya pun tidak mudah. Ia harus belajar
bahasa Arab terlebih dahulu, pura-pura masuk Islam dan menjadi murid ulama
besar di negeri Gujarat. Kini, setelah sampai di perairan Laut Jawa, tiba-tiba
kitab-kitab yang tebal itu hilang musnah ditelan air laut.
Tapi niatnya untuk mengadu ilmu dengan Sunan Bonang tak pernah surut. Ia dan
murid-muridnya telah terdampar di tepi pantai yang tak pernah dikenalnya. Ia
agak bingung harus kemana untuk mencari Sunan Bonang. Ia menoleh kesana kemari.
Mencari seseorang untuk dimintai petunjuk jalan. Namun tak terlihat seorang pun
di pantai itu.
Saat hampir putus asa, tiba-tiba di kejauhan ia melihat seorang lelaki berjubah
putih sedang berjalan sembari membawa tongkat. Ia dan murid-muridnya segera
berlari menghampiri dan menghentikan lelaki itu. Lelaki berjubah putih itu
menghentikan langkah dan menancapkan tongkatnya ke pasir.
“Kisanak, kami datang dari India hendak mencari seorang ulama besar bernama
Sunan Bonang. Dapatkah Kisanak memberitahu dimana kami bisa bertemu dengannya?”
kata sang Brahmana. “Untuk apa tuan mencari Sunan Bonang?”, tanya lelaki itu.
“Akan saya ajak berdebat tentang masalah keagamaan”, kata sang Brahmana. “Tapi
sayang kitab-kitab yang saya bawa telah tenggelam ke dasar laut. Meski demikian
niat saya tak pernah padam. Masih ada beberapa hal yang dapat saya ingat
sebagai bahan perdebatan”.
Tanpa banyak bicara lelaki berjubah putih itu mencabut tongkatnya yang menancap
di pasir, mendadak tersemburlah air dari lubang bekas tongkat itu menancap,
membawa keluar semua kitab yang dibawa sang Brahmana.
“Itukah kitab-kitab tuan yang tenggelam ke dasar laut?” tanya lelaki itu. Sang
Brahmana dan pengikutnya memeriksa kitab-kitab itu. Ternyata benar miliknya
sendiri. Berdebarlah hati sang Brahmana sembari menduga-duga siapa sebenarnya
lelaki berjubah putih itu.
Murid-murid sang Brahmana yang sejak tadi sudah kehausan langsung aja
menyerobot air jernih yang memancar itu. Brahmana Sakyakirti memandangnya
dengan rasa kawatir, jangan-jangan muridnya itu akan segera mabok karena
meminum air di tepi laut yang pastilah banyak mengandung garam.
“Segar! Aduh segarnya!”, seru murid-murid sang Brahmana dengan girangnya. Yang
lain segera berebutan untuk membasahi tenggorokannya yang kering.
Brahmana Sakyakirti tercenung. Bagaimana mungkin air di tepi pantai terasa
segar. Ia mencicipinya sedikit. Memang segar rasanya. Rasa herannya makin
menjadi-jadi terlebih jika berpikir tentang kemampuan lelaki berjubah putih itu
dalam menciptakan lubang air memancar dan mampu menghisap kitab-kitab yang
telah tenggelam ke dasar laut. Pastilah orang berjubah putih itu bukan orang
sembarangan. Ia sudah mengerahkan ilmunya untuk mendeteksi apakah semua itu
hanya tipuan ilmu sihir? Ternyata bukan! Bukan ilmu sihir, tapi kenyataan!.
Seribu Brahmana di India tak mampu melakukan hal ini! Pikir sang Brahmana.
Dengan rasa was-was, takut dan gentar ia menatap wajah orang berjubah putih
itu. “Apakah nama daerah tempat saya terdampar ini?” tanya sang Brahmana dengan
hati kebat-kebit. “Tuan berada di pantai Tuban!” jawab lelaki itu. Serta merta
Brahmana dan para pengikutnya menjatuhkan diri berlutut di hadapan lelaki itu.
Mereka sudah dapat menduga pastilah lelaki berjubah putih itu adalah Sunan
Bonang sendiri.
“Bangunlah untuk apa kau berlutut kepadaku? Bukankah sudah kau ketahui dari
kitab-kitab yang kau pelajari bahwa sangat terlarang bersujud kepada sesama
makhluk. Sujud hanya pantas dipersembahkan kepada Allah Yang Maha Agung!” kata
lelaki berjubah putih yang tak lain memang Sunan Bonang adanya.
“Ampun! Ampunilah saya yang buta ini, tak melihat tingginya gunung di depan
mata, ampunkan saya…!”, rintih sang Brahmana. “lho?” Bukankah kau ingin
berdebat denganku juga mau mengadu kesaktian?”, tukas Sunan Bonang. “Mana saya
berani melawan Paduka, tentulah ombak badai yang menyerang kapal kami juga
ciptaan Paduka, kesaktian Paduka tak terukur tingginya. Ilmu Paduka tak terukur
dalamnya”, kata Brahmana Sakyakirti.
“Kau salah, aku tidak mampu menciptakan ombak dan badai”, ujar Sunan Bonang.
“Hanya Allah yang mampu menciptakan dan menggerakkan seluruh makhluk. Allah
melindungi orang yang percaya dan mendekat kepadaNYA, dari segala macam bahaya
dan niat jahat seseorang!”
Sang Brahmana merasa malu. Memang kedatangannya bermaksud jahat. Ingin membunuh
Sunan Bonang melalui adu kepandaian dan kesaktian.
Ternyata niatnya tak kesampaian. Apa yang telah dibacanya dalam kitab-kitab
yang telah dipelajari terbukti. Bahwa barangsiapa memusuhi para waliNYA, maka
Allah akan mengumumkan perang kepadanya. Menantnag Sunan Bonang sama saja
dengan menantang Tuhan yang mengasihi Sunan Bonang itu sendiri.
Ia bergidik ngeri saat teringat bagaimana dirinya terombang-ambing diterjang
ombak badai, berarti Tuhan sendiri yang telah memberinya pelajaran supaya
mengurungkan niatnya memusuhi Sunan Bonang. Ia percaya, jika niatnya
dilaksanakan bukan Sunan Bonang yang kalah atau mati tapi dia sendirilah yang
bakal binasa.
“Kanjeng Sunan, sudilah menerima saya sebagai murid…”, kata Brahmana itu
kemudian. “Jangan tergesa-gesa”, ujar Sunan Bonang. “Kau harus mempelajari dan
mengenal Islam lebih banyak lagi, lebih lengkap lagi. Sebab apa yang kau
pelajari hanya sebagian-sebagian saja. Jika kau sudah memahami Islam secara
keseluruhan maka kau boleh pilih, tetap memeluk agama lama atau menerima Islam
sebagai agamamu terakhir”.
Sekali lagi sang Brahmana merasa malu. Ternyata Sunan Bonang bersifat arif dan
bijaksana, tidak memaksakan kehendak walau sudah berada di atas angin.
Seandainya Sunan Bonang memperbolehkannya untuk berlutut dia akan bersujud dan
menyembah sepasang kakinya.
“Bawa semua kitab-kitabmu, mari isinya kita bahas bersama-sama”, kata Sunan
Bonang sembari melanjutkan langkahnya. Brahmana Sakyakirti dan murid-muridnya
segera mengumpulkan kitab-kitab yang tercecer lalu mengikuti langkah Sunan
Bonang.
Pada akhirnya ia dan murid-muridnya rela masuk Islam atas kesadarannya sendiri,
dan menjadi pengikutnya yang setia.
Asal usulnya
Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Sunan Bonang itu nama aslinya Syekh
Maulana Makdum Ibrahim, putra Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang sering
disebut Nyai Ageng Manila.
Ada yang mengatakan Dewi Condrowati itu adalah putri Prabu Kertabumi. Dengan
demikian Raden Makdum adalah salah seorang Pangeran Majapahit karena ibunya
adalah putri Raja Majapahit dan ayahnya adalah menantu Raja Majapahit.
Sebagai seorang Wali yang disegani dan dianggap Mufti atau pemimpin agama
se-Tanah Jawa, tentu saja Sunan Ampel mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Sejak
kecil, Raden Makdum Ibrahim sudah diberi pelajaran agama Islam secara tekun dan
disiplin.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa latihan atau riadha para Wali itu lebih berat
daripada orang awam. Raden Makdum Ibrahim adalah calon wali yang besar, maka
Sunan Ampel sejak dini juga mempersiapkan sebaik mungkin.
Disebutkan dari berbagai literatur bahwa Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku
sewaktu masih remaja meneruskan pelajaran agama Islam hingga ke Tanah seberang,
yaitu negeri Pasai. Keduanya menambah pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau
ayah kandung dari Sunan Giri, juga belajar kepada para ulama besar yang banyak
menetap di negeri Pasai. Seperti ulama ahli tasawuf yang berasal dari Baghdad,
Mesir, Arab, dan Parsi atau Iran.
Sesudah belajar di negeri Pasai Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku pulang ke
Jawa. Raden Paku kembali ke Gresik, mendirikan pesantren di Giri sehingga
terkenal sebagai Sunan Giri.
Raden Makdum Ibrahim diperintahkan Sunan Ampel untuk berdakwah di daerah Lasem,
Rembang, Tuban, dan daerah Sempadan Surabaya.
Bijak Dalam Berdakwah
Dalam berdakwah Raden Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan kesenian rakyat
untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan yang disebut
Bonang. Bonang adalah sejenis kuningan yang ditonjolkan di bagian tengahnya.
Bila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak maka timbullah suaranya yang merdu
di telinga penduduk setempat.
Lebih-lebih bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan alat musik itu.
Beliau adalah seorang Wali yang mempunyai cita rasa seni yang tinggi, sehingga
apabila beliau bunyikan pengaruhnya sangat hebat bagi para pendengarnya.
Setiap Raden Makdum Ibrahim membunyikan Bonang pasti banyak penduduk yang
datang ingin mendengarkannya. Dan tidak sedikit dari mereka yang ingin belajar
membunyikan Bonang sekaligus melagukan tembang-tembang ciptaan Raden Makdum
Ibrahim. Begitulah siasat Raden Makdum Ibrahim yang dijalankan penuh kesabaran.
Setelah rakyat berhasil direbut simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran agama
Islam kepada mereka.
Tembang-tembang yang diajarkan Raden Makdum Ibrahim adalah tembang yang
berisikan ajaran agama Islam. Sehingga tanpa terasa penduduk sudah mempelajari
agama Islam dengan senang hati, bukan dengan paksaan.
Murid-murid Raden Makdum Ibrahim sangat banyak, baik yang berada di Tuban, Pulau
Bawean, Jepara, Surabaya, maupun Madura. Karena beliau sering mempergunakan
Bonang dalam berdakwah maka masyarakat memberinya gelar Sunan Bonang.
Karya Sastra
Beliau juga menciptakan karya sastra yang disebut Suluk. Hingga sekarang karya
sastra Sunan Bonang itu dianggap sebagai karya yang sangat hebat, penuh
keindahan dan makna kehidupan beragama. Suluk Sunan Bonang disimpan rapi di
Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.
Suluk berasal dari bahasa Arab “Salakattariiqa” artinya menempuh jalan (tasawuf)
atau tarikat. Ilmunya sering disebut Ilmu Suluk. Ajaran yang biasa disampaikan
dengan sekar atau tembang disebut Suluk. Sedangkan bila diungkapkan secara
biasa dalam bentuk prosa disebut Wirid.
Di bawah ini adalah Suluk karya Sunan Bonang yang disebut Suluk Wragul.
Dhandhanggula
Sunan Bonang
Wragul 1
Berang-berang, jika diteliti ini raga
Belum ketemu hakikatnya
Ada atau tidakkah ia
Sebenarnya aku ini siapa
Impian beraneka ragam
Kalau dipikirkan akhirnya menyedihkan
Yang mustahil banyak sekali
Segala wujud di semesta ini
Tak putus-putus sama sekali
Wragul 2
Maka dengarkanlah perlambang ini
Ada kera hitam sedang berdiri
Di tepi sungai
Tertawa keras tak kepalang
Kepada berang-berang yang mencarai makan
Siang dan malam
Terus tanpa kesudahan
Tak ingat bahwa ia diciptakan Tuhan
Yang diingat hanya makanan
Tanpa mempedulikan
Bahaya mengancam
Wragul 3
Dilahapnya apa saja yang ia dapatkan
Tidaklah ia memperhatikan
Tuhan Yang Mahaagung yang menciptakan
Mustahil Ia tak sanggup memberi makan
Dari kehidupan hingga kematian
Apa pun saja dikodratkan
Telah disesuaikan
Ulat dalam batu pun diberi santunan
Maka jangan hanya suntuk mencari makan
Kuburnya Ada Dua
Sunan Bonang sering berdakwah keliling hingga usia lanjut. Beliau meninggal
dunia pada saat berdakwah di Pulau Bawean.
Berita segera disebar ke seluruh Tanah Jawa. Para murid berdatangan dari segala
penjuru untuk berduka cita dan memberikan penghormatan yang terakhir.
Murid-murid yang berada di Pulau Bawean hendak memakamkan jenazah beliau di
pulau Bawean. Tetapi murid-murid yang berasal dari Madura dan Surabaya
menginginkan jenazah beliau dimakamkan dekat ayahandanya yaitu Sunan Ampel di
Surabaya. Dalam hal memberikan kain kafan pembungkus jenazah mereka pun tak mau
kalah. Jenazah yang sudah dibungkus kain kafan milik orang Bawean masih
ditambah lagi dengan kain kafan dari Surabaya.
Pada malam harinya, orang-orang Madura dan Surabaya menggunakan ilmu sirep
untuk membikin ngantuk orang-orang Bawean dan Tuban. Lalu mengangkut jenazah
Sunan Bonang ke dalam kapal dan hendak dibawa ke Surabaya. Karena tindakannya
tergesa-gesa, kain kafan jenazah itu tertinggal satu.
Kapal layar segera bergerak ke arah ke Surabaya. Tetapi ketika berada di
perairan Tuban tiba-tiba kapal yang digunakan mengangkut jenazahnya tidak bisa
bergerak, sehingga terpaksa jenazah Sunan Bonang dimakamkan di Tuban yaitu di
sebelah barat Masjid Jami’ Tuban.
Sementara kain kafan yang ditinggal di Bawean ternyata juga ada jenazahnya.
Orang-orang Bawean pun menguburkannya dengan penuh hikmat.
Dengan demikian ada dua jenazah Sunan Bonang. Inilah karomah atau kelebihan
yang diberikan Allah kepada beliau. Dengan demikian tak ada permusuhan di
antara murid-muridnya.
Sunan Bonang wafat pada tahun 1525. Makam yang dianggap asli adalah yang berada
di kota Tuban sehingga sampai sekarang makam itu banyak diziarahi orang dari
segala penjuru Tanah Air.
5. Sunan Kalijaga
Diusir Dari Kadipaten
Sunan Kalijaga itu aslinya bernama Raden Said. Putra Adipati Tuban yaitu
Tumenggung Wilatikta. Tumenggung Wilatikta seringkali disebut Raden Sahur,
walau dia termasuk keturunan Ranggalawe yang beragama Hindu tapi Raden Sahur
sendiri sudah masuk agama Islam.
Sejak kecil Raden Said sudah diperkenalkan kepada agama Islam oleh guru agama
Kadipaten Tuban. Tetapi karena melihat keadaan sekitar atau lingkungan yang
kontradiksi dengan kehidupan rakyat jelata maka jiwa Raden Said berontak.
Gelora jiwa muda Raden Said seakan meledak-ledak manakala melihat praktik oknum
pejabat Kadipaten Tuban di saat menarik pajak pada penduduk atau rakyat jelata.
Rakyat yang pada waktu itu sudah sangat menderita dikarenakan adanya musim
kemarau panjang, semakin sengsara, mereka harus membayar pajak yang kadangkala
tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. Bahkan jauh dari kemampuan mereka.
Seringkali jatah mereka untuk persediaan menghadapi musim panen berikutnya
sudah disita para penarik pajak.
Walau Raden Said putra seorang bangsawan dia lebih menyukai kehidupan yang
bebas, yang tidak terikat oleh adat istiadat kebangsawanan. Dia gemar bergaul
dengan rakyat jelata atau dengan segala lapisan masyarakat, dari yang paling
bawah hingga paling atas. Justru karena pergaulannya yang supel itulah dia
banyak mengetahui seluk beluk kehidupan rakyat Tuban.
Niat untuk mengurangi penderitaan rakyat sudah disampaikan kepada ayahnya. Tapi
agaknya ayahnya tak bisa berbuat banyak. Dia cukup memahami posisi ayahnya
sebagai adipati bawahan Majapahit. Tapi niat itu tak pernah padam. Jika
malam-malam sebelumnya dia sering berada di dalam kamarnya sembari mengumandangkan
ayat-ayat suci Al Qur’an maka sekarang dia keluar rumah.
Di saat penjaga gudang Kadipaten tertidur lelap, Raden Said mengambil sebagian
hasil bumi yang ditarik dari rakyat untuk disetorkan ke Majapahit. Bahan
makanan itu dibagi-bagikan kepada rakyat yang sangat membutuhkannya. Hal ini
dilakukan tanpa sepengetahuan mereka.
Tentu saja rakyat yang tak tahu apa-apa itu menjadi kaget bercampur girang
menerima rezeki yang tak diduga-duga. Walaupun mereka tak pernah tahu siapa
gerangan yang memberikan rezeki itu, sebab Raden Said melakukannya di malam
hari secara sembunyi-sembunyi.
Bukan hanya rakyat yang terkejut atas rezeki yang seakan turun dari langit itu.
Penjaga Kadipaten juga merasa kaget, hatinya kebat-kebit, soalnya makin hari
barang-barang yang hendak disetorkan ke pusat kerajaan Majapahit itu makin
berkurang.
Ia ingin mengetahui siapakah pencuri barang hasil bumi di dalam gudang itu.
Suatu malam ia sengaja mengintip dari kejauhan, dari balik sebuah rumah, tak
jauh dari gudang Kadipaten.
Dugaannya benar, ada seseorang membuka pintu gudang, hampir tak berkedip
penjaga gudang itu memperhatikan pencuri itu. Dia hampir tak percaya, pencuri
itu adalah Raden Said, putra junjungannya sendiri.
Untuk melaporkannya sendiri kepada Adipati Wilatikta ia tak berani. Kawatir
dianggap membuat fitnah. Maka penjaga gudang itu hanya minta dua orang saksi
dari sang Adipati untuk memergoki pencuri yang mengambil hasil bumi rakyat yang
tersimpan di gudang.
Raden Said tak pernah menyangka bahwa malam itu perbuatannya bakal ketahuan.
Ketika ia hendak keluar dari gudang sambil membawa bahan-bahan makanan tiga
orang prajurit Kadipaten menangkapnya beserta barang bukti yang dibawanya.
Raden Said dibawa ke hadapan ayahnya.
Adipati Wilatikta marah melihat perbuatan anaknya itu. Raden Said tidak
menjawab untuk apakah dia mencuri barang-barang hasil bumi yang hendak
disetorkan ke Majapahit itu.
Tapi untuk itu Raden Said harus mendapat hukuman, karena kejahatan mencuri itu
baru pertama dilakukannya maka dia hanya mendapat hukuman cambuk dua ratus kali
pada tangannya. Kemudian disekap selama beberapa hari, tak boleh keluar rumah.
Jerakah Raden Said atas hukuman yang sudah diterimanya?
Sesudah keluar dari hukuman dia benar-benar keluar dari lingkungan istana. Tak
pernah pulang sehingga membuat cemas ibu dan adiknya. Apa yang dilakukan Raden
Said selanjutnya?
Dia mengenakan topeng khusus, berpakaian serba hitam dan kemudian merampok
harta orang-orang kaya di Kabupaten Tuban. Terutama orang kaya yang pelit dan
para pejabat Kadipaten yang curang.
Harta hasil rampokan itupun diberikannya kepada fakir miskin dan orang-orang
yang menderita lainnya. Tapi ketika perbuatannya ini mencapai titik jenuh ada
saja orang yang bermaksud mencelakakannya.
Ada seorang pemimpin perampok sejati yang mengetahui aksi Raden Said menjarah
harta pejabat kaya, kemudian pemimpin rampok itu mengenakan pakaian serupa
dengan pakaian Raden Said, bahkan juga mengenakan topeng seperti topeng Raden
Said juga.
Pada suatu malam, Raden Said yang baru saja menyelesaikan shalat Isya’
mendengar jerit tangis para penduduk desa yang kampungnya sedang dijarah
perampok.
Dia segera mendatangi tempat kejadian itu. Begitu mengetahui kedatangan Raden
Said kawanan perampok itu segera berhamburan melarikan diri. Tinggal pemimpin
mereka yang sedang asyik memperkosa seorang gadis cantik.
Raden Said mendobrak pintu rumah si gadis yang sedang diperkosa. Di dalam
sebuah kamar dia melihat seseorang berpakaian seperti dirinya, juga mengenakan
topeng serupa sedang berusaha mengenakan pakaiannya kembali. Rupanya dia sudah
selesai memperkosa gadis itu.
Raden Said berusaha menangkap perampok itu. Namum pemimpin rampok itu berhasil
melarikan diri. Mendadak terdengar suara kentongan dipukul bertalu-talu,
penduduk dari kampung lain berdatangan ke tempat itu. Pada saat itulah si gadis
yang baru diperkosa perampok tadi menghamburkan diri dan menangkap erat-erat
tangan Raden Said. Raden Said pun jadi panik dan kebingungan. Para pemuda dari
kampung lain menerobos masuk dengan senjata terhunus. Raden Said ditangkap dan
dibawa ke rumah kepala desa.
Kepala desa yang merasa penasaran mencoba membuka topeng di wajah Raden Said.
Begitu mengetahui siapa orang dibalik topeng itu sang kepala desa jadi
terbungkam.
Sama sekali tak disangkanya bahwa perampok itu adalah putra junjungannya
sendiri yaitu Raden Said. Gegerlah masyarakat pada saat itu. Raden Said
dianggap perampok dan pemerkosa. Si gadis yang diperkosa adalah bukti kuat dan
saksi hidup atas kejadian itu.
Sang kepala desa masih berusaha menutup aib junjungannya. Diam-diam membawa
Raden Said ke istana Kadipaten Tuban tanpa diketahui orang banyak. Tentu saja
sang Adipati menjadi murka. Raden Said yang selama ini selalu merasa sayang dan
selalu membela anaknya kali ini juga naik pitam. Raden Said diusir dari wilayah
Kadipaten Tuban.
“Pergi dari Kadipaten Tuban ini! Kau telah mencoreng nama baik keluargamu
sendiri! Pergi! Jangan kembali sebelum kau dapat menggetarkan dinding-dinding
istana Kadipaten Tuban ini dengan ayat-ayat Al Qur’an yang sering kau baca di
malam hari!”
Sang Adipati Wilatikta juga sangat terpukul atas kejadian itu. Raden Said yang
diharapkan dapat menggantikan kedudukannya selaku Adipati Tuban ternyata telah
menutup kemungkinan kearah itu. Sirna sudah segala harapan sang Adipati.
Hanya ada satu orang yang tak dapat mempercayai perbuatan Raden Said, yaitu
Dewi Rasawulan, adik Raden Said, yang yakin bahwa Raden Said itu berjiwa bersih
luhur dan sangat tidak mungkin melakukan perbuatan keji. Dewi Rasawulan yang
sangat menyayangi kakaknya itu merasa kasihan, tanpa sepengetahuan ayah dan
ibunya dia meninggalkan istana Kadipaten Tuban untuk mencari Raden Said untuk
diajak pulang.
Mencari Guru Sejati
Kemanakah Raden Said sesudah diusir dari Kadipaten Tuban? Ternyata ia
mengembara tanpa tujuan pasti. Pada akhirnya dia menetap di hutan Jatiwangi.
Selama bertahun-tahun dia menjadi perampok budiman. Mengapa disebut perampok
budiman? Karena hasil rampokan itu tak pernah dimakannya. Seperti dulu, selalu
diberikan kepada fakir miskin.
Yang dirampoknya hanya para hartawan atau orang kaya yang kikir, tidak
menyantuni rakyat jelata, dan tidak mau membayar zakat.
Di hutan Jatiwangi dia membuang nama aslinya. Orang menyebutnya sebagai Brandal
Lokajaya.
Pada suatu hari, ada seorang berjubah putih lewat di hutan Jatiwangi. Dari jauh
Brandal Lokajaya sudah mengincarnya. Orang itu membawa sebatang tongkat yang
gagangnya berkilauan. Terus diawasinya orang tua berjubah putih itu. Setelah
dekat dia hadang langkahnya. Tanpa banyak bicara lagi direbutnya tongkat itu
dari tangan lelaki berjubah putih. Karena tongkat itu dicabut dengan paksa maka
orang berjubah putih itu jatuh tersungkur.
Dengan susah payah orang itu bangun, sepasang matanya mengeluarkan air walau
tak ada suara tangis dari mulutnya. Raden Said pada saat itu sedang
mengamat-amati gagang tongkat yang dipegangnya. Ternyata tongkat itu bukan
terbuat dari emas, hanya gagangnya saja terbuat dari kuningan sehingga
berkilauan tertimpa cahaya matahari, seperti emas.
Raden Said heran melihat orang itu menangis. Segera diulurkannya kembali
tongkat itu,”Jangan menangis, ini tongkatmu kukembalikan”.
“Bukan tongkat ini yang kutangisi,” ujar lelaki itu sembari memperlihatkan
beberapa batang rumput di telapak tangannya. “Lihatlah! Aku telah berbuat dosa,
berbuat kesia-siaan. Rumput ini tercabut ketika aku jatuh tersungkur tadi”.
“Hanya beberapa lembar rumput. Kau merasa berdosa?”, tanya Raden Said heran.
“Ya, memang berdosa! Karena kau mencabutnya tanpa suatu keperluan. Andaikata
kucabut guna makanan ternak itu tidak mengapa. Tapi untuk suatu kesia-siaan
benar-benar suatu dosa!”, jawab lelaki itu.
Hati Raden Said agak tergetar atas jawaban yang mengandung nilai iman itu.
“Anak muda sesungguhnya apa yang kau cari di hutan ini?” “Saya menginginkan
harta”, “Untuk apa?” “Saya berikan kepada fakir miskin dan penduduk yang
menderita”. “Hem, sungguh mulia hatimu, sayang… caramu mendapatkannya yang
keliru” “Orang tua… apa maksudmu?” “Boleh aku bertanya anak muda?”, desah orang
tua itu. “Jika kau mencuci pakaianmu yang kotor dengan air kencing, apakah
tindakanmu itu benar?”
“Sungguh perbuatan bodoh,” sahut Raden Said. “Hanya menambah kotor dan bau
pakaian itu saja”.
Lelaki itu tersenyum. “Demikian pula amal yang kau lakukan. Kau bersedekah
dengan barang yang didapat secara haram, merampok atau mencuri, itu sama halnya
mencuci pakaian dengan air kencing”.
Raden Said tercekat. Lelaki itu melanjutkan ucapannya,”Allah itu adalah zat
yang baik, hanya menerima amal dari barang yang baik atau halal”.
Raden Said makin tercengang mendengar keterangan itu. Rasa malu mulai menghujam
lubuk hatinya. Betapa keliru perbuatannya selama ini.
Dipandangnya sekali lagi wajah lelaki berjubah putih itu. Agung dan berwibawa
namun mencerminkan pribadi yang welas asih. Dia mulai suka dan tertarik pada
lelaki berjubah putih itu.
“Banyak hal yang terkait dalam usaha mengentas kemiskinan dan penderitaan
rakyat saat itu. Kau tidak bisa merubahnya hanya dengan memberi bantuan makan
dan uang kepada para penduduk miskin. Kau harus memperingatkan para penguasa
yang zalim agar mau berubah caranya memerintah yang sewenang-wenang, kau juga
harus dapat membimbing rakyat agar dapat meningkatkan taraf kehidupannya!”.
Raden Said makin terpana, ucapan seperti itulah yang didambakannya selama ini.
“Kalau kau mau kerja keras, dan hanya ingin beramal dengan cara yang mudah maka
ambillah itu. Itu barang halal. Ambillah sesukamu!”
Berkata demikian lelaki itu menunjuk pada sebatang pohon aren. Seketika pohon
itu berubah menjadi emas seluruhnya. Sepasang mata Raden Said terbelalak. Dia
adalah seorang pemuda sakti, banyak ragam pengalaman yang telah dikecapnya.
Berbagai ilmu yang aneh-aneh telah dipelajarinya. Dia mengira orang itu
mempergunakan ilmu sihir, kalau benar orang itu mengeluarkan ilmu sihir ia
pasti dapat mengatasinya.
Tapi, setelah ia mengerahkan ilmunya, pohon aren itu tetap masih menjadi emas.
Berarti orang itu tidak menggunakan sihir. Ia benar-benar merasa heran dan
penasaran. Ilmu apakah yang telah dipergunakan orang itu sehingga mampu merubah
pohon aren menjadi emas?
Selama beberapa saat Raden Said terpukau di tempatnya berdiri. Dia mencoba
memanjat pohon aren itu. Benar-benar berubah menjadi emas seluruhya. Ia ingin
mengambil buah aren yang telah berubah menjadi emas berkilauan itu. Mendadak
buah aren itu rontok, berjatuhan mengenai kepala Raden Said. Pemuda itu
terjerembab ke tanah. Roboh dan pingsan.
Ketika ia sadar, buah aren yang rontok itu telah berubah lagi menjadi hijau
seperti aren-aren lainnya. Raden Said bangkit berdiri, mencari orang berjubah
putih tadi. Tapi yang dicarinya sudah tak ada di tempat.
Ucapan orang tua itu masih terngiang di telinganya. Tentang beramal dengan
barang haram yang disamakan dengan mencuci pakaian dengan air kencing. Tentang
berbagai hal yang terkait dengan upaya memberantas kemiskinan.
Raden Said mengejar orang itu. Segenap kemampuan dikerahkannya untuk berlari
cepat akhirnya dia dapat melihat bayangan orang itu dari kejauhan.
Sepertinya santai saja orang itu melangkahkan kakinya, tapi Raden Said tak
pernah bisa menyusulnya. Jatuh bangun, terseok-seok dan berlari lagi,
demikianlah, setelah tenaganya terkuras habis dia baru sampai di belakang
lelaki berjubah putih itu.
Lelaki berjubah putih itu berhenti, bukan karena kehadiran Raden Said melainkan
di depannya terbentang sungai yang cukup lebar. Tak ada jembatan, dan sungai
itu tampaknya dalam, dengan apa dia harus menyeberang.
“tunggu… “, ucap Raden Said ketika melihat orang tua itu hendak melangkahkan
kakinya lagi. “Sudilah Tuan menerima saya sebagai murid…”, pintanya. “Menjadi
muridku?”, tanya orang itu. “Mau belajar apa?” “Apa saja asal Tuan menerima
saya sebagai murid…” “Berat, berat sekali anak muda, bersediakah kau menerima
syarat-syaratnya?” “Saya bersedia…”
Lelaki itu kemudian menancapkan tongkatnya di tepi sungai. Raden Said
diperintahkan menungguinya. Tak boleh beranjak dari tempat itu sebelum lelaki
itu kembali menemuinya. Raden Said bersedia menerima syarat ujian itu.
Selanjutnya lelaki itu menyeberangi sungai. Sepasang mata Raden Said terbelalak
heran, lelaki itu berjalan di atas air bagaikan berjalan di daratan saja.
Kakinya tidak basah terkena air. Ia semakin yakin bahwa calon gurunya itu
adalah seorang lelaki berilmu tinggi, waskita dan mungkin saja golongan para
wali.
Setelah lelaki itu hilang dari pandangan Raden Said, pemuda itu duduk bersila
dia teringat suatu kisah ajaib yang dibacanya di dalam Al Qur’an yaitu kisah
Ashabul Kahfi, maka ia segera berdoa kepada Tuhan supaya ditidurkan seperti
para pemuda di goa Kahfi ratusan tahun silam.
Doanya dikabulkan. Raden Said tertidur dalam samadinya selama tiga tahun. Akar
dan rerumputan telah merambati sekujur tubuhnya dan hampir menutupi sebagian
besar anggota tubuhnya.
Setelah tiga tahun lelaki berjubah putih itu datang menemui Raden Said. Tapi
Raden Said tak bisa dibangunkan. Barulah setelah mengumandangkan azan, pemuda
itu membuka sepasang matanya.
Tubuh Raden Said dibersihkan, diberi pakaian baru yang bersih. Kemudian dibawa
ke Tuban. Mengapa ke Tuban? Karena Lelaki berjubah putih itu adalah Sunan Bonang.
Raden Said kemudian diberi pelajaran agama sesuai dengan tingkatannya, yaitu
tingkat para waliullah. Di kemudian hari Raden Said terkenal sebagai Sunan
Kalijaga.
Kalijaga artinya yang menjaga sungai. Karena dia pernah bertapa di tepi sungai.
Ada yang mengartikan Sunan Kalijaga adalah penjaga aliran kepercayaan yang
hidup di masa itu. Dijaga maksudnya supaya tidak membahayakan ummat, melainkan
diarahkan kepada ajaran Islam yang benar.
Ada juga yang mengartikan legenda pertemuan Raden Said dengan Sunan Bonang
hanya sekedar simbol saja. Kemanapun Sunan Bonang pergi selalu membawa tongkat
atau pegangan hidup, itu artinya Sunan Bonang selalu membawa agama, membawa
iman sebagai penunjuk jalan kehidupan.
Raden Said kemudian disuruh menunggui tongkat atau agama di tepi sungai. Itu
artinya Raden Said diperintah untuk terjun ke dalam kancah masyarakat Jawa yang
banyak mempunyai aliran kepercayaan dan masih berpegang pada agama lama yaitu
Hindu dan Budha.
Sunan Bonang mampu berjalan di atas air sungai tanpa amblas ke dalam sungai.
Bahkan sedikit pun ia tak terkena percikan air sungai. Itu artinya Sunan Bonang
dapat bergaul dengan masyarakat yang berbeda agama tanpa kehilangan identitas
agama yang dianut oleh Sunan Bonang sendiri yaitu Islam.
Kerinduan Seorang Ibu
Setelah bertahun-tahun ditinggalkan kedua anaknya, permaisuri Adipati Wilatikta
seperti kehilangan gairah hidup. Terlebih setelah usaha Adipati Tuban menangkap
para perampok yang mengacau Kadipaten Tuban membuahkan hasil. Hati ibu Raden
Said seketika berguncang.
Kebetulan saat ditangkap oleh para prajurit Tuban, kepala perampok itu
mengenakan pakaian dan topeng yang persis dikenakan Raden Said. Rahasia yang
selama ini tertutup rapat terbongkarlah sudah. Dari pengakuan perampok itu
tahulah Adipati Tuban bahwa Raden Said tidak bersalah.
Ibu Raden Said menangis sejadi-jadinya. Dia benar-benar telah menyesal mengusir
anak yang sangat disayanginya itu. Sang Ibu tak pernah tahu bahwa anak yang
didambakannya itu bertahun-tahun kemudian sudah kembali ke Tuban. Hanya saja
tidak langsung ke Istana Kadipaten Tuban, melainkan ke tempat tinggal Sunan
Bonang.
Untuk mengobati kerinduan sang Ibu. Tidak jarang Raden Said mengerahkan ilmunya
yang tinggi. Yaitu membaca Qur’an dari jarak jauh lalu suaranya dikirim ke istana
Tuban.
Suara Raden Said yang merdu itu benar-benar menggetarkan dinding-dinding istana
Kadipaten. Bahkan mengguncangkan isi hati Adipati Tuban dan isterinya. Tapi
Raden Said, masih belum menampakkan diri. Banyak tugas yang masih
dikerjakannya. Diantaranya menemukan adiknya kembali. Pada akhirnya, dia
kembali bersama adiknya yaitu Dewi Rasawulan. Tak terkirakan betapa bahagianya
Adipati Tuban dan isterinya menerima kedatangan putra-putri yang sangat
dicintainya itu.
Karena Raden Said tidak bersedia menggantikan kedudukan ayahnya, akhirnya
kedudukan Adipati Tuban diberikan kepada cucunya sendiri yaitu putra Dewi
Rasawulan dan Empu Supa.
Raden Said meneruskan pengembaraannya. Berdakwah atau menyebarkan Islam di Jawa
Tengah hingga Jawa Barat. Beliau sangat arif dan bijaksana dalam berdakwah
sehingga dapat diterima dan dianggap sebagai Guru se Tanah Jawa. Dari petani,
pejabat, pedagang, bangsawan dan raja-raja dapat menerima ajaran Sunan Kalijaga
yang berciri khas Jawa namun tetap Islami. Dalam usia lanjut beliau memilih
Kadilangu sebagai tempat tinggalnya yang terakhir. Hingga sekarang beliau
dimakamkan di Kadilangu, Demak. Semoga amal perjuangannya diterima di sisi
Allah. Amin.
Sunan Bayat dan Syekh Domba (Murid Sunan Kalijaga)
Murid-murid Sunan Kalijaga banyak sekali, seperti Sunan Bayat, Sunan Geseng, Ki
Ageng Sela, Empu Supa, dan lain-lain. Di sini kami kisahkan tentang Sunan Bayat
dan Syekh Domba.
Bupati Semarang pada waktu itu bernama Ki Pandhanarang. Ia terkenal sebagai
seorang bupati yang kaya raya. Disamping sehari-harinya dikenal sebagai seorang
bupati, ia juga berbakat sebagai seorang pedagang. Nah, karena mentalnya mental
pedagang maka dia suka keluyuran keluar masuk pasar setiap pagi.
Ia pandai mengambil keuntungan dari setiap usahanya. Ia berdagang emas, intan,
permata hingga sapi, kerbau, dan kambing. Kekayaannya pada saat itu sungguh
diatas rata-rata kekayaan pejabat. Istrinya banyak, anaknya banyak dan
relasinya juga banyak sehingga kedudukannya luar biasa kuatnya. Tak ada seorang
pun yang mampu menggoyangkannya bahkan pejabat di tingkat pusat sekalipun.
Sayang ada satu sifatnya yang tak baik yaitu kikirnya setengah mati, kikir
alias bakhil alias cethil bin medhit!.
Ia mempunyai beberapa kendaraan bagus dan jempolan. Pada jaman sekarang bisa
sekelas Jaguar, Mercedes, Ferrari, ataupun BMW, namun pada saat itu adalah
seekor kuda terbaik dari Sumbawa. Nah, karena kuda dan sapinya banyak maka tiap
pagi ia membutuhkan berkarung-karung rumput segar untuk santapan kuda dan
sapinya.
Suatu ketika di musim kemarau, para pegawainya yang bertugas mencari rumput
agak terlambat menyediakan santapan kudanya. Nah, pada saat itu datanglah
seorang penjual rumput memasuki halaman rumahnya. Umumnya pada waktu itu
sepikul rumput berharga dua puluh lima ketheng. Tapi ia menawarnya dengan harga
lima belas ketheng. Anehnya tanpa berbelit-belit penjual rumput itu
memberikannya begitu saja.
Esoknya penjual rumput bercaping lebar itu datang lagi. Kali ini ia datang
lebih pagi dengan membawa rumput yang lebih segar dari kemarin. Bertanya Ki
Pandhanarang,”Pak Tua, sepagi ini kau sudah membawa rumput sesegar ini.
Darimana kau memperolehnya?”. “Dari Gunung Jabalkat, Tuan…”, jawab si penjual
rumput.
Ki Pandhanarang merasa heran, sebab Gunung Jabalkat adalah tempat yang sangat
jauh sekali. Setelah rumput itu dibayar seperti harga kemarin orang itu tidak
segera beranjak pergi.
“Hei Pak Tua, apalagi yang kau tunggu?”. “Hamba ingin minta sedekah Tuan”. Ki
Pandhanarang merogoh sakunya, tanpa menoleh ia lemparkan seketheng di hadapan
kaki si penjual rumput lalu ia beranjak pergi. Tapi si penjual rumput buru-buru
maju menghadang. “Hamba tidak minta sedekah uang, yang hamba minta adalah
bedhug berbunyi di Semarang”.
Ki Pandhanarang mendelik penasaran. Minta bedhug berbunyi di Semarang? Itu sama
halnya dengan permintaan mendirikan Masjid, dan menyebarkan agama Islam di
Semarang. Ah, jangankan berdakwah wong shalat lima waktu saja sudah enggan
melaksanakannya.
“Kau jangan minta yang aneh-aneh Pak Tua. Sudah ambil uang itu dan cepat pergi
dari sini”. “Hamba tidak butuh uang. Dapatkah uang dan harta menjamin
keselamatan kita di akhirat kelak?”. Ki Pandhanarang merah wajahnya pertanda
marah. “Hai Pak Tua! Jangan menyepelekan uang dan harta. Dengan uang dan harta
itulah seseorang terangkat derajatnya dan dihormati semua orang”.
Dengan beraninya penjual rumput itu berkata,”Hamba kira tidak! Justru orang
yang menjadi budak uang dan harta akan menjadi orang yang hina dina dan tidak
berbudi pekerti karena terbiasa menghalalkan segala cara!”
“Pak tua! Bicaramu makin tak karuan, apakah dengan pekerjaanmu sebagai penjual
rumput itu kau merasa mulia. Apakah segala kebutuhan hidupmu, anak istrimu
tercukupi?”
“Soal harta dan kebutuhan hidup hamba selalu ikhlas terhadap apa yang diberikan
Tuhan. Kalau Cuma menginginkan emas permata, sekali cangkul hamba bisa setiap
saat mengeruknya dari dalam tanah”
“huh! Omonganmu semakin sombong saja pak Tua! Coba buktikan omong besarmu itu!
Jika memang terbukti aku akan berguru kepadamu, namun jika kau hanya berkoar
atau main sulap maka kau akan kuhukum dengan hukuman seberat-beratnya!”
Ki Pandhanarang lalu menyuruh pembantunya mengambil cangkul dan diberikan
kepada si penjual rumput. “Hayo! Buktikan ucapanmu!”
Dengan tenang penjual rumput itu menerima cangkul. Lalu diayunkannya pelan, dan
ketika ditarik dari dalam tanah keluarlah bongkahan emas permata. Semua orang
terbelalak takjub melihat kejadian itu. Ki Pandhanarang yang mata duitan itu
berdiri terpaku di tempatnya sampai-sampai ia tak menyadari lelaki penjual
rumput itu sudah pergi meninggalkan halaman rumahnya.
Ki Pandhanarang baru sadar bahwa ia berhadapan dengan orang berilmu tinggi.
Maka segera dikejarnya kemana orang itu pergi. Sebagai seorang lelaki ia ingin
memenuhi janjinya untuk berguru kepada si penjual rumput. Setelah mengerahkan
segenap tenaganya barulah is berhasil menyusul lelaki penjual rumput itu.
“Buat apa kau menyusulku? Masih kurangkah bongkahan emas permata tadi bagimu?”
tegur si penual rumput itu. “Bukan, bukan untuk itu saya kemari”. “Lalu apa
maumu?” “Saya ingin berguru kepada Tuan” “Berguru? Mau berguru apa, menimbun
uang dan harta?”. “Bukan! Saya ingin memperdalam agama Islam sehingga nantinya
dapat saya gunakan untuk membimbing rakyat Semarang”. “Jadi kau mau memenuhi
permintaanku untuk membunyikan bedhug di Semarang?”. “Benar Tuan!”. “Berkorban
dengan segala harta dan jiwa?”. “Saya bersedia…”. “Kalau begitu kau harus
menjalankan ibadah selama hidupmu, jangan sampai teledor menegakkan shalat lima
waktu. Kau harus beramal, dirikan masjid dan memberikan hartamu kepada para
fakir miskin dan orang-orang yang berhak menerimanya. Jangan sekali-kali kau
terpikat oleh harta kecuali hanya sekedarnya saja sebagai bekal ibadah. Orang
berguru itu harus meninggalkan rumah, maka jika segala hal yang kupesan tadi
sudah kau laksanakan segeralah kau susul aku ke Gunung Jabalkat”.
“Wahai Tuan yang arif dan bijaksana. Ijinkanlah saya mengetahui siapakah
gerangan Tuan ini sesungguhnya?” “Aku adalah Sunan Kalijaga yang diperintah
para dewan wali untuk mengajakmu bergabung sebagai anggota Walisongo,
menggantikan Syekh Siti Jenar yang telah dihukum mati”.
Mendengar nama besar Sunan Kalijaga serta merta Ki Pandhanarang berlutut untuk
menghormat, namun seketika itu juga Sunan Kalijaga lenyap dari pandangan matanya.
Ki Pandhanarang pulang ke rumahnya. Kini ia berubah total. Dulu pelit sekarang
menjadi dermawan sekali. Suka bersedekah. Ia juga yang memprakarsai dan
menanggung biaya untuk pembangunan masjid di Semarang. Ia juga yang memilih
kayu terbaik beserta kulit sapi yang sangat bagus untuk digunakan sebagai
bedhug.
Ia membayar zakat sebagaimana keharusannya setiap muslim yang diwajibkan. Ia
menyantuni anak yatim dan fakir miskin. Semua itu dilakukan dengan ikhlas
karena Allah. Bukan sekedar untuk publikasi agar namanya terkenal. Setelah tiba
saatnya ia bermaksud menyusul Sunan Kalijaga di Gunung Jabalkat.
Salah seorang dari istrinya memaksa hendak ikut ke Gunung Jabalkat mendampingi
dirinya. “Baiklah, kau boleh ikut tapi jangan membawa harta. Itulah pesan
guruku, harta hanya menjadi penghalang bagi tujuan luhur cita-cita kita”.
Keduanya lalu berpakaian serba putih. Keduanya berjalan kaki ke Gunung
Jabalkat. Ki Pandhanarang berjalan di muka dengan membawa tongkat biasa.
Istrinya berjalan di belakang dengan membawa tongkat bambu yang di dalam
lubangnya diisi dengan emas dan permata.
Ki Pandhanarang yang berjalan di depan dicegat kawanan rampok, namun karena ia
tidak membawa harta ia segera dilepaskan begitu saja. Sebaliknya, Nyai
Pandhanarang dicegat tiga perampok. Tongkatnya dirampas, isinya dikeluarkan dan
dijadikan rebutan. Tiga perampok itu bersorak kegirangan setelah mendapat emas
dan permata milik Nyai Pandhanarang. Sementara Nyai Pandhanarang menangis
tersedu-sedu. Ia berteriak-teriak memanggil suaminya yang berjalan jauh di
depan.
“Kakangmas…! Apakah kau sudah lupa pada istrimu? Ini ada orang tiga berbuat
salah”. Konon karena peristiwa itulah, kini tempat kejadian itu dinamakan
SALATIGA.
Akhirnya Nyai Pandhanarang dapat menyusul suaminya. Suaminya tidak kaget
mendengar penuturan istrinya karena ia sudah tahu bahwa sejak berangkat dari
rumah, istrinya memang membawa emas dan permata. “Itulah, kau tidak mematuhi
saran guruku. Harta hanya menjadi penghalang tujuan luhur kita. Sekarang kau
berjalanlah di muka”.
Nyai Pandhanarang kemudian berjalan di muka. Tidak berapa lama kemudian Ki
Pandhanarang dicegat seorang perampok yang dikenal sebagai Ki Sambangdalan.
“Serahkan hartamu atau kau akan kuhajar hingga babak belur!?”, demikian ancam
Ki Sambangdalan. “Aku tidak membawa harta!” jawab Ki Pandhanarang. Perampok itu
tidak percaya, kemudian ia merampas tongkat Ki Pandhanarang. Tentu saja tongkat
itu tidak ada emasnya karena hanya terbuat dari kayu biasa. “Dimana kau
sembunyikan hartamu?” hardik Ki Sambangdalan. “Aku tidak membawa harta!”, jawab
Ki Pandhanarang sambil terus melangkah. Anehnya Ki Sambangdalan membiarkan saja
korbannya berjalan. Ia hanya berani mengancam saja tapi tidak berani memukuli
Ki Pandhanarang.
Ki Sambangdalan terus mengikuti kemana Ki Pandhanarang berjalan sambil terus
mengeluarkan ancaman. Lama-lama Ki Pandhanarang bosan dan risih mendengar
ancaman Ki Sambangdalan. Maka ia berkata,”Kau ini bengal, keras kepala seperti
domba saja!”
Aneh, seketika kepala Ki Sambangdalan berubah menjadi kepala seekor domba atau
kambing. Tapi ia tidak menyadarinya. Ia terus mengukuti kemana Ki Pandhanarang
pergi. Suatu ketika keduanya sampai di tepi sungai. Melihat air Ki Sambangdalan
merasa risih, ia takut terkena basah, lalu ia melihat bayangannya sendiri di
air jernih maka menjeritlah ia. “Waduuuuhhh! Ampuuuuuuun, mengapa kepalaku
berubah menjadi domba??”. “Itu karena kesalahanmu sendiri”, ujar Ki
Pandhanarang. “Kembalikan ujud kepalaku seperti semula…”, pinta Ki
Sambangdalan. Ki Pandhanarang tidak menjawab. Ki Sambangdalan menjadi takut,
maka ia terus ikut kemanapun Ki Pandhanarang pergi. Perjalanan pun sampai di
tempat tujuan, yaitu Gunung Jabalkat. Tapi pada saat itu Sunan Kalijaga sedang
berdakwah ke luar daerah. Ki Pandhanarang berujar bahwa jika Ki Sambangdalan
ingin menjadi manusia normal kembali, maka ia harus bertirakat dan bertobat.
Untuk menebus dosanya Ki Sambangdalan harus mengisi jun (padasan) dengan air
dibawah bukit. Jun itu tidak tertutup sehingga apabila Ki Sambangdalan sampai
di atas bukit airnya sudah habis. Tapi karena ingin kepalanya kembali seperti
semula maka ia tidak putus asa, tiap hari dilakukannya pekerjaan itu sambil
beristighfar, tobat minta ampun kepada Tuhan.
Pada suatu hari Sunan Kalijaga datang ke tempat itu. Mereka bertiga segera
duduk bersimpuh. Secara ajaib kepala Ki Sambangdalan kembali seperti ke ujud
semula. Jun tempat wudhu tiba-tiba penuh dengan air tanpa ada yang mengisinya.
Ketiga orang itu akhirnya belajar dengan tekun ilmu syariat dan hakikat agama
Islam atas bimbingan Sunan Kalijaga yang diberi gelar Guru se-Tanah Jawa.
Akhirnya mereka dapat mencapai tataran yang tinggi berkat ketekunan dan
kesabarannya. Ki Pandhanarang menjadi seorang wali dan disebut dengan gelar
Sunan Bayat karena menyebarkan agama Islam di daerah Bayat. Sementara Ki
Sambangdalan juga menjadi seorang wali dan disebut sebagai Syekh Domba karena
kepalanya pernah menjadi domba.
Sunan Kalijaga memang sengaja menyadarkan Bupati Semarang tersebut untuk
menjadi pengganti Syekh Siti Jenar yang telah dihukum mati karena dianggap
sesat dan berlawanan dengan ajaran Walisongo. Setelah menjadi wali Ki
Pandhanarang atau Sunan Bayat mempunyai beberapa karomah, diantaranya adalah
pada suatu ketika ia menyamar sebagai pelayan tukang pembuat kue srabi. Ikut berdagang
ke pasar sambil membawakan kayu bakar. Pada suatu hari pasar sangat ramai
banyak orang membeli kue srabi, karena laris kayunya habis. Majikannya
marah-marah karena Sunan Bayat tidak membawa kayu yang banyak sehingga tidak
cukup digunakan melayani para pembeli.
“Kau teledor! Sekarang bagaimana? Apakah tanganmu itu dapat kau gunakan sebagai
pengganti kayu bakar?”, hardik si majikan.
Tanpa pikir panjang lagi Sunan Bayat memasukkan tangannya ke dalam tungku dapur
dan tangan itu menyala-nyala mengeluarkan api. Gemparlah hari itu. Banyak orang
melihat dengan kepala mata mereka sendiri, tangan Sunan Bayat yang masuk ke
dalam tungku itu mengeluarkan api. Dan banyak pula orang yang membeli kue
srabi.
Setelah tahu bahwa pelayannya adalah Sunan Bayat mantan bupati Semarang maka
penjual kue srabi itu minta ampun berkali-kali, akhirnya suami istri penjual
kue srabi itu menjadi pengikut Sunan Bayat yang setia.
6. Sunan Kudus
Asal-usul
Menurut salah satu sumber, Sunan Kudus adalah putra Raden Usman haji bergelar
Sunan Ngudung dari Jipang Panolan. Ada yang mengatakan letak Jipang Panolan ini
sebelah utara kota Blora. Di dalam Babad Tanah Jawa, disebutkan bahwa Sunan
Ngudung pernah memimpin pasukan Demak Bintoro yang berperang melawan pasukan
Majapahit. Sunan Ngudung selaku senopati Demak berhadapan dengan Raden Husain
atau Adipati Terung dari Majapahit. Dalam pertempuran yang sengit dan saling
mengeluarkan aji kesaktian itu Sunan Ngudung gugur sebagai pahlawan sahid.
Kedudukannya sebagai senopati Demak kemudian digantikan oleh Sunan Kudus yaitu
putranya sendiri yang bernama asli Ja’far Sodiq.
Pasukan Demak hampir saja menderita kekalahan, namun melalui siasat Sunan
Kalijaga, dan bantuan pusaka (persenjataan) dari Raden Patah yang dibawa dari
Palembang kedudukan Demak dan Majapahit akhirnya berimbang. Keadaan ini tentu
bukan semata-mata berkat siasat Sunan Kalijaga dan bantuan pusaka Raden Patah,
tetapi karena izin Allah, siasat itu dapat merubah keadaan peperangan itu.
Selanjutnya melalui jalan diplomasi yang dilakukan Patih Wanasalam dan Sunan
Kalijaga, peperangan itu dapat dihentikan. Adipati Terung yang memimpin lasykar
Majapahit diajak damai dan bergabung dengan Raden Patah yang ternyata adalah
kakaknya sendiri. Kini keadaan berbalik. Adipati Terung dan pengikutnya
bergabung dengan tentara Demak dan menggempur tentara Majapahit hingga ke
belahan timur. Pada akhirnya perang itu dimenangkan oleh pasukan Demak.
Guru-gurunya
Disamping belajar agama kepada ayahnya sendiri, Raden Ja’far Sodiq juga belajar
kepada beberapa ulama terkenal. Diantaranya kepada Kiai Telingsing, Ki Ageng
Ngerang dan Sunan Ampel.
Nama asli kiai Telingsing adalah The Ling Sing, beliau adalah seorang ulama
dari negeri Cina yang datang ke pulau Jawa bersama Laksamana Jenderal Cheng
Hoo. Sebagaimana disebutkan dalam sejarah. Jenderal Cheng Hoo yang beragama
Islam itu datang ke Pulau Jawa untuk menjalin tali persahabatan dan menyebarkan
agama Islam melalui perdagangan.Di Jawa, The Ling Sing cukup dipanggil dengan
sebutan Telingsing, beliau tinggal di sebuah daerah subur yang terletak di
antara sungai Tanggulangin dan Sungai Juwana sebelah timur. Di sana beliau
bukan hanya mengajar agama Islam, melainkan juga mengajarkan kepada para
penduduk seni ukir yang indah.
Banyak yang datang berguru seni ukir kepada Kiai Telingsing, termasuk Raden
Ja’far Sodiq itu sendiri. Dengan belajar kepada ulama yang berasal dari Cina
itu, Ja’far Sodiq mewarisi bagian dari sifat positif masyarakat Cina yaitu
ketekunan dan kedisiplinan dalam mengejar atau mencapai cita-cita. Hal ini
berpengaruh besar bagi kehidupan dakwah Raden Ja’far Sodiq di masa selanjutnya
yaitu tatkala menghadapi masyarakat yang kebanyakan masih beragama Hindu dan
Budha.
Selanjutnya, Raden Ja’far Sodiq juga berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya selama
beberapa tahun.
CARA BERDAKWAH YANG LUWES
A. Strategi Pendekatan Kepada Massa
Sunan Kudus termasuk pendukung gagasan Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang yang
menerapkan strategi dakwah kepada masyarakat sebagai berikut:
Membiarkan dulu adat istiadat dan kepercayaan lama yang sukar diubah. Mereka
sepakat untuk tidak mempergunakan jalan kekerasan atau radikal menghadapi
masyarakat yang demikian.
Bagian adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi mudah dirubah maka
segera dihilangkan.
Tut Wuri Handayani, artinya mengikuti dari belakang terhadap kelakuan dan adat
rakyat tetapi diusahakan untuk dapat mempengaruhi sedikit demi sedikit dan
menerapkan prinsip Tut Wuri Hangiseni, artinya mengikuti dari belakang sambil
mengisi ajaran agama Islam.
Menghindarkan konfrontasi secara langsung atau secara keras di dalam cara
menyiarkan agama Islam. Dengan prinsip mengambil ikan tetapi tidak mengeruhkan
airnya.
Pada akhirnya boleh saja merubah dan kepercayaan masyarakat yang tidak sesuai
dengan ajaran Islam tetapi dengan prinsip tidak menghalau masyarakat dari umat
Islam. Kalangan umat Islam yang sudah tebal imannya harus berusaha menarik
simpati masyarakat non muslim agar mau mendekat dan tertarik pada ajaran Islam.
Hal itu tak bisa mereka lakukan kecuali melaksanakan ajaran Islam. Hal itu tak
bisa mereka lakukan kecuali melaksanakan ajaran Islam secara konsekuen. Sebab
dengan melaksanakan ajaran Islam secara lengkap otomatis tingkah laku dan gerak
gerik mereka sudah merupakan dakwah nyata yang dapat memikat masyarakat non
muslim.
Strategi dakwah ini diterapkan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria,
Sunan Kudus dan Sunan Gunungjati. Karena siasat mereka dalam berdakwah tak sama
dengan garis yang ditetapkan oleh Sunan Ampel maka mereka disebut Kaum Abangan
atau Aliran Tuban. Sedang pendapat Sunan Ampel yang didukung Sunan Giri dan
Sunan Drajad disebut Kaum Putihan atau Aliran Giri.
Namun atas inisiatif Sunan Kalijaga, kedua pendapat yang berbeda itu pada
akhirnya dapat dikompromosikan.
B. Merangkul Masyarakat Hindu
Di Kudus pada waktu itu penduduknya masih banyak yang beragama Hindu dan Budha.
Untuk mengajak mereka masuk Islam tentu bukannya pekerjaan mudah. Terlebih
mereka yang masih memeluk kepercayaan lama dan memegang teguh adat istiadat
lama, jumlahnya tidak sedikit. Didalam masyarakat seperti itulah Ja’far Sodiq
harus berjuang menegakkan agama.
Pada suatu hari Sunan Kudus atau Ja’far Sodiq membeli seekor sapi (dalam
riwayat lain disebut Kebo Gumarang). Sapi tersebut berasal dari Hindia, dibawa
para pedagang asing dengan kapal besar. Sapi itu ditambatkan di halaman rumah
Sunan Kudus.
Rakyat Kudus yang kebanyakan beragama Hindu itu tergerak hatinya, ingin tahu
apa yang akan dilakukan oleh Sunan Kudus terhadap sapi itu. Sapi dalam
pandangan agama Hindu adalah hewan suci yang menjadi kendaraan para Dewa.
Menyembelih sapi adalah perbuatan dosa yang dikutuk para Dewa. Lalu apa yang
akan dilakukan Sunan Kudus?
Apakah Sunan Kudus hendak menyembelih sapi di hadapan masyarakat yang
kebanyakan justru memujanya dan menganggap binatang keramat. Itu berarti Sunan
Kudus akan melukai hati rakyatnya sendiri.
Dalam tempo singkat halaman rumah Sunan Kudus dibanjiri rakyat, baik yang
beragama Islam maupun Budha dan Hindu. Setelah jumlah penduduk yang datang
bertambah banyak, Sunan Kudus keluar dari dalam rumahnya.
“Sedulur-sedulur yang saya hormati, segenap sanak kadang yang saya cintai”,
Sunan Kudus membuka suara. “Saya melarang sauadara-saudara menyakiti apalagi
menyembelih sapi. Sebab di waktu saya masih kecil, saya pernah mengalami saat
yang berbahaya, hampir mati kehausan lalu seekor sapi datang menyusui saya”.
Mendengar cerita tersebut para pemeluk agama Hindu terkagum kagum. Mereka
menyangka Raden Ja’far Sodiq itu adalah titisan Dewa Wisnu, maka mereka
bersedia mendengarkan ceramahnya. “Demi rasa hormat saya kepada jenis hewan
yang telah menolong saya, maka dengan ini saya melarang penduduk Kudus
menyakiti atau menyembelih Sapi!”
Kontan para penduduk terpesona atas kisah itu. Sunan Kudus melanjutkan,”Salah
satu di antara surat-surat di dalam Al Qur’an yaitu surat kedua dinamakan Surat
Sapi atau dalam bahasa Arabnya Al-Baqarah”, kata Sunan Kudus.
Masyarakat makin tertarik. Kok ada Sapi di dalam Al Qur’an, mereka jadi ingin
tahu lebih banyak dan untuk itulah mereka harus sering-sering datang
mendengarkan keterangan Sunan Kudus.
Demikianlah, sesudah simpati itu berhasil didapatkan akan lapanglah jalan untuk
mengajak masyarakat berduyun-duyun masuk agama Islam.
Bentuk Masjid yang dibuat Sunan Kudus pun juga tak jauh bedanya dengan
candi-candi milik orang Hindu. Lihatlah Menara Kudus yang antik itu, yang
hingga sekarang dikagumi orang di seluruh dunia karena keanehannya. Dengan
bentuknya yang mirip candi itu orang-orang Hindu merasa akrab dan tidak merasa
takut atau segan masuk ke dalam masjid guna mendengarkan ceramah Sunan Kudus.
C. Merangkul Masyarakat Budha
Sesudah berhasil menarik umat Hindu ke dalam agama Islam hanya karena sikap
toleransinya yang tinggi, yaitu menghormati sapi yang dikeramatkan umat Hindu
dan membangun menara masjid mirip candi Hindu. Kini Sunan Kudus bermaksud
menjaring umat Budha. Caranya? Memang tidak mudah, harus kreatif dan bersifat
tidak memaksa.
Sesudah masjid berdiri, Sunan Kudus membuat padasan atau tempat berwudhu dengan
pancuran yang berjumlah delapan. Masing-masing pancuran diberi arca Kepala Kebo
Gumarang di atasnya. Hal ini disesuaikan dengan ajaran Budha “Jalan berlipat
delapan” atau “Asta Sanghika Marga”, yaitu:
1. Harus memiliki pengetahuan yang benar.
2. Mengambil keputusan yang benar.
3. Berkata yang benar.
4. Hidup dengan cara yang benar.
5. Bekerja dengan benar.
6. Beribadah dengan benar.
7. Dan menghayati agama dengan benar.
Usahanya itupun membuahkan hasil, banyak umat Budha yang penasaran, untuk apa
Sunan Kudus memasang lambang wasiat Budha itu di padasan atau tempat berwudhu.
Sehingga mereka berdatangan ke masjid untuk mendengarkan keterangan Sunan
Kudus.
D. Selamatan Mitoni
Di dalam cerita tutur disebutkan bahwa Sunan Kudus itu pada suatu ketika gagal
mengumpulkan rakyat yang masih berpegang teguh pada adat istiadat lama.
Seperti diketahui, rakyat Jawa yang melakukan adat istiadat yang aneh, yang
kadangkala bertentangan dengan ajaran Islam, misalnya berkirim sesaji di
kuburan untuk menunjukkan belasungkawa atau berduka cita atas meninggalnya
salah seorang anggota keluarga, selamatan neloni, mitoni, dan lain-lain. Sunan
Kudus sangat memperhatikan upacara-upacara ritual itu, dan berusaha
sebaik-baiknya untuk merubah atau mengarahkannya dalam bentuk Islami. Hal ini
dilakukan oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Muria.
Contohnya, bila seorang istri orang Jawa hamil tiga bulan maka akan
dilakukanlah acara selamatan yang disebut mitoni sembari minta kepada dewa
bahwa bila anaknya lahir supaya tampan seperti Arjuna, jika anakanya perempuan
supaya cantik seperti Dewi Ratih.
Adat tersebut tidak ditentang secara keras oleh Sunan Kudus. Melainkan
diarahkan dalam bentuk Islami. Acara selamatan boleh terus dilakukan tapi
niatnya bukan sekedar kirim sesaji kepada para dewa, melainkan bersedekah
kepada penduduk setempat dan sesaji yang dihidangkan boleh dibawa pulang.
Sedang permintaannya langsung kepada Allah dengan harapan bila anaknya lahir
laki-laki akan berwajah tampan seperti Nabi Yusuf, dan bila perempuan seperti
Siti Mariam ibunda Nabi Isa a.s. Untuk itu sang ayah dan ibu perlu
sering-sering membaca surat Yusuf dan surat Mariam dalam Al Qur’an.
Sebelaum acara selamatan dilaksanakan diadakanlah pembacaan Layang Ambiya’ atau
sejarah para Nabi. Biasanya yang dibaca adalah bab Nabi Yusuf. Hingga sekarang
acara pembacaan Layang Ambiya’ yang berbentuk tembang Asmaradana, Pucung, dan
lain-lain itu masih hidup di kalangan masyarakat pedesaan.
Berbeda dengan cara lama, pihak tuan rumah membuat sesaji dari berbagai jenis
makanan, kemudian diikrarkan (dihajatkan) oleh sang dukun atau tetua masyarakat
dan setelah upacara sakral itu dilakukan sesajinya tidak boleh dimakan
melainkan diletakkan di candi, di kuburan atau di tempat-tempat sunyi di
lingkungan tuan rumah.
Ketika pertama kali melaksanakan gagasannya, Sunan Kudus pernah gagal, yaitu
beliau mengundang seluruh masyarakat, baik yang Islam maupun yang Hindu dan
Budha ke dalam Masjid. Dalam undangan disebutkan hajat Sunan Kudus yang hendak
mitoni dan bersedekah atas hamilnya sang istri selama tiga bulan.
Sebelum masuk masjid, rakyat harus membasuh kaki dan tangannya di kolam yang
sudah disediakan. Dikarenakan harus membasuh tangan dan kaki inilah banyak
rakyat yang tidak mau, terutama dari kalangan Budha dan Hindu. Inilah kesalahan
Sunan Kudus. Beliau terlalu mementingkan pengenalan syariat berwudhu kepada
masyarakat tapi akibatnya masyarakat malah menjauh. Apa sebabnya? Karena iman
mereka atau tauhid mereka belum terbina.
Maka pada kesempatan lain, Sunan Kudus mengundang masyarakat lagi. Kali ini
masyarakat tidak usah membasuh tangan dan kainya waktu masuk masjid, hasilnya
sungguh luar biasa. Masyarakat berbondong-bondong memenuhi undangannya. Di saat
itulah Sunan Kudus menyisipkan bab keimanan dalam agama Islam secara halus dan
menyenangkan rakyat. Caranya menyampaikan materi dengan cukup cerdik, yaitu
ketika rakyat tengah memusatkan perhatiannya kepada keterangan Sunan Kudus
tetapi karena waktu sudah terlalu lama, dan dikawatirkan mereka jenuh maka
Sunan Kudus mengakhiri ceramahnya.
Cara tersebut kadang mengecewakan, tapi disitulah letak segi positifnya, yaitu
rakyat jadi ingin tahu kelanjutan ceramahnya. Dan pada kesempatan lain mereka
datang lagi ke Masjid, baik dengan undangan maupun tidak, karena rasa ingin
tahu itu demikian besar mereka tak peduli lagi pada syarat yang diajukan Sunan
Kudus yaitu membasuh kaki dan tangannya lebih dahulu, yang lama-lama menjadi
kebiasaan untuk berwudhu.
Dengan demikian Sunan Kudus berhasil menebus kesalahannya di masa lalu. Rakyat
tetap menaruh simpati dan menghormatinya. Cara-cara yang ditempuh untuk
mengislamkan masyarakat cukup banyak. Baik secara langsung melalui ceramah
agama maupun adu kesaktian dan melalui kesenian, beliaulah yang pertama kali
menciptakan tembang Mijil dan Maskumambang. Di dalam tembang-tembang tersebut
beliau sisipkan ajaran-ajaran agama Islam.
4. SUNAN KUDUS DI NEGERI MEKAH
Di dalam legenda dikisahkan bahwa Raden Jakfar Sodiq itu suka mengembara, baik
ke Tanah Hindustan maupun ke Tanah Suci Mekah.
Sewaktu berada di Mekah beliau menunaikan ibadah haji. Dan kebetulan di sana
ada wabah penyakit yang sukar diatasi. Penguasa negeri Arab mengadakan
sayembara, siapa yang berhasil melenyapkan wabah penyakit itu akan diberi
hadiah harta benda yang cukup besar jumlahnya.
Sudah banyak orang mencoba tak pernah berhasil. Pada suatu hari Sunan Kudus
atau Ja’far Sodiq mengahadap penguasa negeri itu tapi kedatangannya disambut
dengan sinis.
“Dengan apa tuan melenyapkan wabah penyakit itu?” tanya sang Amir. “Dengan
doa”,jawab Ja’far Sodiq singkat. “Kalau hanya doa kami sudah puluhan kali
melakukannya. Tapi mereka tak pernah berhasil mengusir wabah penyakit ini”
“Saya mengerti, memang Tanah Arab ini gudangnya para ulama. Tapi jangan lupa
ada saja kekurangannya sehingga doa mereka tidak terkabulkan”, kata Jakfar
Sodiq.
“Hem, sungguh berani tuan berkata demikian”, kata Amir itu dengan nada berang.
“Apa kekurangan mereka?”. “Anda sendiri yang menyebabkannya”, kata Jakfar Sodiq
dengan tenangnya. “Anda telah menjanjikan hadiah yang menggelapkan mata hati mereka
sehingga doa mereka tidak ikhlas. Mereka berdoa hanya karena mengharap hadiah”.
Sang Amir pun terbungkam atas jawaban itu.
Jakfar Sodiq lalu dipersilakan melaksanakan niatnya. Kesempatan itu tidak
disia-siakan. Secara khusus Jakfar Sodiq berdoa dan membaca beberapa amalan.
Dalam tempo singkat wabah penyakit mengganas di negeri Arab telah menyingkir.
Bahkan beberapa orang yang menderita sakit keras secara mendadak langsung
sembuh. Bukan main senangnya hati sang Amir. Rasa kagum mulai menjalari hatinya.
Hadiah yang dijanjikannya bermaksud diberikannya kepada Jakfar Sodiq. Tapi
Jakfar Sodiq menolaknya, dia hanya minta sebuah batu yang berasal dari Baitul
Maqdis. Sang Amir mengijinkannya. Batu itu pun dibawa ke tanah Jawa, dipasang
di pengimaman masjid Kudus yang didirikannya sekembali dari Tanah Suci.
Rakyat kota Kudus pada waktu itu masih banyak yang beragama Hindu dan Budha.
Para Wali mengadakan sidang untuk menentukan siapakah yang pantas berdakwah di
kota itu. Pada akhirnya Jakfar Sodiq yang bertugas di daerah itu. Karena Masjid
yang dibangunnya dinamakan Kudus maka Raden Jakfar Sodiq pada akhirnya disebut
Sunan Kudus.
5. TUGAS SEBAGAI SENOPATI
Malam hitam pekat, udara musim kemarau terasa sangat dingin menusuk tulang.
Penduduk desa Pengging yang terletak di tepi hutan, malam itu tak dapat tidur,
sebab malam itu terdengar auman harimau sambung-menyambung, terus menerus. Para
penduduk berjaga-jaga, kalau-kalau malam itu harimau yang mengaum itu akan
masuk ke desa dan memangsa hewan ternak mereka.
Tapi sampai pagi tidak ada seekor harimau tampak masuk kampung. Para penduduk
penasaran. Mereka beramai-ramai masuk ke dalam hutan untuk memeriksa, apakah
benar di dalam hutan yang sudah mereka kenal selama ini ada harimaunya.
Dengan senjata siap di tangan mereka siap menghadapi segala kemungkinan. Di
tengah hutan, bukan harimau yang mereka dapatkan, melainkan tujuh orang santri
dan seorang berjubah putih yang tampak agung berwibawa. “Apakah tuan melihat
harimau di sekitar hutan ini?” tanya tetua desa. “Tidak”, jawab lelaki berjubah
putih itu.“Semalam kami tidur di hutan ini tapi tidak melihat seekor harimau
pun”. “Aneh, semalaman kami tak dapat tidur karena auman suara harimau yang
terus menerus”,gunam tetua desa. “Kalau begitu namakanlah tempat ini desa Sima.
Karena kau mendengar suara Sima (harimau) padahal tak ada Sima”, kata lelaki
berjubah putih.
Tetua desa itu menurut, hingga sekarang tempat lelaki berjubah putih bermalam
itu dinamakan desa Sima. Lelaki berjubah putih itu kemudian meneruskan
perjalanannya ke Pengging untuk menemui Adipati Kebo Kenanga atau lebih dikenal
sebagai Ki Ageng Pengging.
Pagi itu udara masih terasa menggigit tulang. Seiring dengan langkah lelaki
berjubah putih dan tujuh orang pengikutnya yang makin mendekati ujung desa
Pengging tiba-tiba di udara nampak dua ekor gagak terbang sambil mengeluarkan
suara khasnya.
Adanya suara burung gagak adalah lambang kematian, berarti akan ada sosok
manusia yang dicabut nyawanya oleh Sang Malaikat Maut. Siapakah orang yang
bakal mati hari ini? Siapa pula orang berjubah putih yang nampak agung dan
berwibawa itu? Mengapa tujuh orang santri terus mengikutinya dari belakang? Apa
tujuan mereka ke desa Pengging? Pengging atau Pajang pada beberapa tahun silam
bukanlah sebuah desa terpencil. Pengging adalah sebuah Kadipaten yang sangat
terkenal karena Adipati Handayaningrat yang memimpin adalah Putra Prabu
Brawijaya Penguasa Majapahit.
Adipati Handayaningrat mempunyai dua orang putra lelaki. Yang pertama bernama
Kebo Kanigara, yang kedua Kebo Kenanga. Ketika sang Adipati meninggal dunia,
Kebo Kanigara mengembara tak ketahuan rimbanya. Sedang Kebo Kenanga masuk Islam
menjadi murid Syekh Siti Jenar. Tenggelam dalam alur faham Siti Jenar sehingga
pikirannya berubah. Tak mau mengurus lagi Kadipaten warisan orang tuanya. Ia
malah mengajak rakyatnya untuk hidup wajar sebagai petani biasa.
Sungguh mengagumkan. Hasil panen para petani Pengging kemudian tersebar ke
penjuru desa lainnya. Bahkan menggetarkan dinding-dinding istana Demak Bintoro,
karena Ki Ageng Pengging tak pernah sowan menghadap Sri Sultan. Dan tentu saja
tak pernah menyerahkan upeti pertanda setia dan tetap tunduk kepada Demak
Bintoro.
Karena itu Raden Patah segera mengutus dua perwira utama untuk menengok Ki
Ageng Pengging. “Ki Ageng”, kata utusan itu setelah tiba di hadapannya. “Sudah
dua tahun Andika tidak menghadap Gusti Sultan Demak. Kami diperintahkan
mengingatkan Andika, sebab Gusti Sultan sudah sangat merindukan kehadiran
Andika selaku saudaranya”.
Ki ageng Pengging menatap dua orang utusan itu dengan tajam. “Buat apa seorang
petani desa menghadap Sri Sultan? Hanya bikin malu Sri Sultan saja. Hai utusan
kembali-lah dan katakan kepada Sri Sultan aku tak dapat memenuhi panggilannya.
Mohonkan ampun atas sikapku ini”.
Dua orang utusan itu segera kembali ke istana Demak. Tak berapa lama kemudian
Ki Ageng Pengging memanggil dalang wayang beber. Selepas shalat Isya’ dalang
pun segera memainkan lakon wayangnya. Penduduk berduyun-duyun menyaksikan
pertunjukan gratis itu.
Ketika hampir muncul fajar sidik di ufuk timur. Tiba-tiba istri Ki Ageng
Pengging menggerang kesakitan. Ia merasa si jabang bayi akan segera lahir. Ki
Ageng Pengging segera memerintahkan Ki Dalang untuk mengakhiri pertunjukannya.
Orang-orang pun segera sibuk menolong istri Ki Ageng Pengging. Ternyata yang
lahir adalah laki-laki yang elok rupanya.
Ki Ageng Tingkir berkata kepada adik seperguruannya. “Adimas, karena anakmu
lahir bertepatan dengan pagelaran wayang beber maka anakmu kuberi nama
Karebet”.
“Terima kasih atas kesediaan memberi nama anak ini”, ujar Ki Ageng
Pengging.“Mudah-mudahan dia dapat meniru kegagahan dan watak satria Kakang”. Ki
Ageng Tingkir turut bergembira atas kelahiran putra adik seperguruannya itu.
Selama tiga hari ia menunggui kelahiran bayi itu di Pengging. Sementara itu,
Raden Patah mengatur siasat. Dua orang utusannya telah gagal memanggil Ki Ageng
Pengging. Sekarang dia mengutus Ki Wanapala untuk memanggil Ki Ageng Pengging.
Ki Wanapala adalah bekas Mahapatih Demak Bintoro yang sudah mengundurkan diri.
Kedudukannya telah digantikan anaknya sendiri. Namun ia masih sering datang ke
istana Demak jika diperlukan Raden Patah untuk dimintai pertimbangan.
Namun patih senior ini juga tak mampu menjinakkan sikap Ki Ageng Pengging, ia
pulang dengan tangan hampa.
Ki Wanapala tak berpanjang kata. Ia segera kembali ke Demak. Melaporkan segala
apa yang didengarnya. Sri Sultan setuju atas keputusan Ki Wanapala memberi
tenggang waktu selama tiga tahun.
Namun ketika tiga tahun lewat Ki Ageng belum menghadap ke Demak juga. Atas
nasehat para Wali, maka Sri Sultan mengirim utusan ketiga. Yang ditugaskan kali
ini adalah Sunan Kudus. Tugas kali ini harus tuntas. Karena Sunan Kudus yang
terkenal memiliki ilmu logika tinggi dan beribu ilmu kesaktian itu terpilih
menangani masalah ini. Sri Sultan tak perlu mengirim utusan keempat lagi.
Walaupun Sunan Kudus itu Panglima Perang Demak, tetapi para Wali melarangnya
menggunakan baju dan seragam militernya. Sunan Kudus disarankan agar memakai
pakian jubah putih sebab yang dihadapinya adalah seorang santri desa.
Berangkatlah Sunan Kudus dengan iringan tujuh prajurit Demak pilihan yang juga
menyamar sebagai para santri biasa.
Tiga tahun memang telah berlalu dengan cepatnya. Ki Ageng Pengging tidak pernah
menghadap ke Demak. Bahkan Kadipaten Pengging yang dulu pernah mengalami
kejayaan di jaman ayahnya yaitu Adipati Handayaningrat tidak diurus lagi. Kebo
Kenanga, cucu Raja Majapahit itu malah tenggelam dalam dunia kebatinan yang
diajarkan oleh Syeikh Siti Jenar.
Walau tampaknya Ki Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging itu tak mengurus
pemerintahan Kadipaten, tapi sesungguhnya para prajuritnya masih setia
kepadanya, mereka menyembunyikan keperwiraannya di balik baju petani. Tetapi
sewaktu-waktu mereka bisa digerakkan jika diperlukan oleh Ki Ageng Pengging.
Hal ini disadari oleh pemerintah pusat Demak Bintoro. Itu sebanya Sri Sultan
memilih Sunan Kudus untuk menggali sang pembangkang yaitu Ki Ageng Pengging
ini.
Suasana Kadipaten Pengging benar-benar lengang. Pagi itu penduduk banyak yang
pergi ke sawah dan ladang masing-masing. Pendapa atau istana Kadipaten tidak
kelihatan. Di pusat bekas pemerintahan Adipati Handayaningrat itu kini hanya
ada sebuah rumah yang tak seberapa besar. Bentuknya seperti rumah penduduk
lainnya.
Sunan Kudus memerintahkan tujuh orang pengikutnya menunggu di ujung desa. Dia
sendiri berjalan menuju rumah Ki Ageng Pengging. Langkahnya mantap. Dia yakin
tugasnya kali ini akan membawa hasil. Seperti sudah dilambangkan oleh Bende
Kyai Sima, yaitu pusaka warisan dari mertuanya yang dibunyikan di dalam hutan
saat dia kemalaman. Bila bende itu dipukul bunyinya seperti harimau maka
tandanya akan berhasil, bila tidak mengeluarkan auman harimau berarti akan
menemui kegagalan.
Di depan pintu rumah Ki Ageng Pengging ada seorang pelayan wanita setengah
baya. Sunan Kudus memberi salam kemudian mengutarakan maksud kedatangannya
untuk menemui Ki Ageng Pengging. “Maaf tuan, sudah beberapa hari Ki Ageng
mengurung diri di dalam kamarnya, beliau tidak bisa menemui tamu”, kata pelayan
itu. “Aku bukan tamu biasa”, kata Sunan Kudus. “Katakan aku adalah utusan Tuhan
yang datang dari Kudus. Ingin bertemu dengan Ki Ageng Pengging”. Pelayan itu
masuk ke dalam rumah menyampaikan pesan Sunan Kudus yang dianggapnya aneh.
Ternyata Ki Ageng bersedia menerima tamunya.
Sunan Kudus dipersilakan masuk ke dalam rumahnya. Istri Ki Ageng Pengging
membuatkan minuman untuk menghormati tamu khusus itu. Tinggallah di ruang tamu
itu Ki Ageng Pengging dan Sunan Kudus.
“Wahai Ki Ageng, saya diperintah oleh Sultan Demak Bintoro. Manakah yang kau
pilih. Di luar atau di dalam? Di atas atau di bawah?”, tanya Sunan Kudus. Ki
Ageng Pengging menghela nafas, tiga tahun yang lalu dia juga diberi pertanyaan
serupa oleh Ki Wanasalam, patih Demak Bintoro. “jawabanku tetap sama dengan
tiga tahun yang lalu”,kata Ki Ageng Pengging. “Atas-bawah, luar-dalam adalah
milikku. Aku tak bisa memilihnya”.
Jawaban itu bagi Sunan Kudus adalah sangat jelas. Berarti Ki Ageng Pengging
punya maksud ganda. Ingin menjadi rakyat atau bawahan Demak Bintoro sekaligus
ingin menjadi penguasa Demak Bintoro. Jelasnya dia tidak mau mengakui Raden
Patah sebagai raja Demak. Ini pembangkangan namanya. Kasarnya pemberontak!
Bahwa Ki Ageng Pengging itu murid Syekh Siti Jenar, gurunya itu sudah dihukum
mati karena kesesatannya, Sunan Kudus ingin mengetahui apakah Ki Ageng Pengging
masih meyakini ilmu dari Syeikh Siti Jenar itu atau sudah meninggalkannya sama
sekali.
“Saya pernah mendengar bahwa Ki Ageng bisa hidup di dalam mati dan mati di
dalam hidup”, kata Sunan Kudus. “Benarkah apa yang saya katakan itu? Saya ingin
melihat buktinya”.
“Memang begitu!”, jawab Ki Ageng Pengging. “Kau anggap apa saja aku ini maka
aku akan menurut apa yang kau sangka. Kau anggap aku santri memang aku santri,
kau anggap aku ini raja, memang aku keturunan raja, kau anggap aku ini rakyat
memang aku rakyat, dan kau anggap aku ini Allah aku memang Allah!”
Klop sudah! Ki Ageng Pengging masih memegang teguh ajaran Syekh Siti Jenar yang
berfaham Wihdatul Wujud atau berfilasafat serba Tuhan. Faham itu adalah
bertentangan dengan Islam yang disiarkan para wali, sehingga Syekh Siti Jenar
dihukum mati.
Sunan Kudus juga cerdik, dia tahu murid-murid Syekh Siti Jenar itu mempunyai
ilmu-ilmu yang aneh, kadangkala mereka kebal, tak mempan senjata apapun juga.
Maka Sunan Kudus bermaksud mengorek kelemahan Ki Ageng Pengging dengan jalan
diplomasi.
“Seperti pengakuan Ki Ageng, bahwa Ki Ageng dapat mati di dalam hidup. Saya
ingin melihat buktinya”. “Jadi itukah yang dikehendaki Sulatan Demak?. Baiklah,
tidak ada orang mati tanpa sebab, maka kau harus membuat sebab kematianku.
Bagiku hidup dan mati tidak ada bedanya”. Ki Ageng Pengging berhenti sejenak,
menatap dalam-dalam wajah Sunan Kudus. “Tapi jangan melibatkan orang lain.
Cukup aku saja yang mati”. Sunan Kudus menyanggupi permintaan Ki Ageng. Ki
Ageng menghela nafas panjang. “Tusuklah siku lenganku ini….!”, ujar Ki Ageng
membuka titik kelemahannya. Sunan Kudus pun melakukannya. Siku Ki Ageng ditusuk
dengan ujung keris, seketika matilah Ki Ageng Pengging.
Sunan Kudus kemudian keluar rumah Ki Ageng Pengging dengan langkah tenang.
Disambut oleh tujuh pengikutnya di ujung desa. Mereka berjalan menuju Demak
Bintoro. Sementara itu istri Ki Ageng Pengging yang hendak menghidangkan jamuan
makan menjerit keras manakala melihat suaminya mati di ruang tamu. Penduduk
sekitar berdatangan ke rumahnya. Setelah tahu pemimpinnya dibunuh mereka
memanggil penduduk lainnya dan bersama-sama mengejar Sunan Kudus.
200 orang bekas prajurit dan perwira dipimpin bekas Senopati Kadipaten Pengging
mencabut senjata dan berteriak-teriak memanggil Sunan Kudus dari kejauhan.
Sunan Kudus berhenti. Dibunyikannya Bende Kyai Sima. Tiba-tiba muncul ribuan
prajurit Demak yang berlarian ke arah timur. Orang-orang Pengging mengejar ke
arah timur, padahal Sunan Kudus dan pengikutnya berada di sebelah utara. Tidak
berapa lama kemudian ribuan prajurit itu lenyap. Orang Pengging kebingungan,
tak tahu hars berbuat apa. Akal mereka seperti hilang.
Sunan Kudus kasihan melihat keadaan mereka, akhirnya mereka disadarkan kembali
dengan pengerahan ilmunya. “Jangan turut campur urusan besar ini. Ki Ageng
Pengging sudah diperingatkan selama tiga tahun. Tapi dia tetap tak mau
menghadap ke Demak. Itu berarti dia sengaja hendak memberontak! Nah, kalian rakyat
kecil, tak ada hubungannya dengan urusan ini. Pulanglah!”
Suara Sunan Kudus terdengar berat dan mengandung perbawa kuat. Penduduk
Pengging itu seperti baru sadar dan mengerti bahwa yang mereka hadapi adalah
seorang Senopati Demak Bintoro yang kondang mempunyai seribu satu macam
kesaktian. Mereka tak kan mampu menghadapinya.
“Ada tugas yang lebih penting daripada berbuat kesia-siaan ini”, kata Sunan
Kudus.“Segeralah kalian urus jenazah Ki Ageng. Itulah penghormatan kalian yang
terakhir kepada pemimpin kalian”
Orang-orang Pengging itu tak menemukan pilihan lain. Akhirnya mereka kembali ke
rumah Ki Ageng untuk menguburkan jenazah pemimpin mereka. Sunan Kudus dan tujuh
pengikutnya segera kembali ke Demak.
Cita-cita Ki Ageng Pengging agar anak turunannya menjadi Raja ternyata
kesampaian. Anaknya yang bernama Keberet itu diambil anak angkat oleh Ki Ageng
Tingkir dan setelah dewasa bernama Jaka Tingkir. Jaka Tingkir inilah yang bakal
memindahkan pusat pemerintahan Demak ke desa Pengging atau Pajang.
7. Sunan Drajad
Asal-usul
Nama asli Sunan Drajad adalah Raden Qosim, beliau putra Sunan Ampel dengan Dewi
Condrowati dan merupakan adik dari Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang.
Raden Qosim yang sudah mewarisi ilmu ayahnya kemudian diperintah untuk berdakwah
di sebelah barat Gresik yaitu daerah kosong dari ulama besar antara Tuban dan
Gresik.
Raden Qosim mulai perjalanannya dengan naik perahu dari Gresik sesudah singgah
di tempat Sunan Giri. Dalam perjalanan ke arah barat itu perahu beliau
tiba-tiba dihantam ombak yang besar sehingga menabrak karang dan hancur. Hampir
saja Raden Qosim kehilangan nyawa, tapi bila Tuhan belum menentukan ajal
seseorang bagaimana pun hebatnya kecelakaan pasti dia akan selamat, demikian
pula halnya dengan Raden Qosim. Secara kebetulan seekor ikan besar yaitu ikan
talang datang kepadanya. Dengan menunggang punggung ikan tersebut Raden Qosim
dapat selamat hingga ke tepi pantai.
Raden Qosim sangat bersyukur dapat lolos dari musibah itu. Beliau juga
berterima kasih kepada ikan talang yang dengan lantarannya dia selamat. (tentu
maksudnya berterima kasih kepada Allah, katrena Allah telah mengirimkan ikan
talang itu menjadi media pertolongan Allah kepadanya). Untuk itu beliau telah
berpesan kepada anak keturunannya agar jangan sampai makan daging ikan talang.
Bila pesan ini dilanggar akan mengakibatkan bencana, yaitu ditimpa penyakit
yang tiada lagi obatnya.
Ikan talang itu membawa Raden Qosim hingga ke tepi pantai yang termasuk wilayah
desa Jelag (sekarang termasuk wilayah desa Banjarwati), kecamatan Paciran. Di
tempat itu Raden Qosim disambut masyarakat setempat dengan antusias,
lebih-lebih setelah mereka tahu bahwa Raden Qosim adalah putra Sunan Ampel
seorang Wali besar dan masih terhitung kerabat keraton Majapahit.
Di desa Jelag itu Raden Qosim mendirikan Pesantren. Karena caranya menyiarkan
agama Islam yang unik maka banyaklah orang yang datang berguru kepadanya.
Setelah menetap satu tahun di desa Jelag, Raden Qosim mendapat ilham supaya
menuju ke arah selatan, kira-kira berjarak 1 kilometer, di sana beliau
mendirikan surau langgar untuk berdakwah.
Tiga tahun kemudian secara mantap beliau mendapat petunjuk agar membangun
tempat berdakwah yang strategis yaitu di tempat ketinggian yang disebut Dalem
Duwur. Di bukit yang disebut Dalem Duwur itulah yang sekarang dibangun Museum
Sunan Drajad, adapun makam Sunan Drajad terletak di sebelah barat Museum
tersebut.
Raden Qosim adalah pendukung aliran putih yang dipimpin oleh Sunan Giri.
Artinya, dalam berdakwah adalah pendukung aliran Putih yang dipimpin oleh Sunan
Giri. Artinya, dalam berdakwah menyebarkan agama Islam, beliau menganut jalan
lurus, jalan yang tidak berliku-liku. Agama harus diamalkan dengan lurus dan
benar sesuai dengan ajaran Nabi. Tidak boleh dicampur baur dengan adat dan kepercayaan
lama.
Meski demikian beliau juga mempergunakan kesenian rakyat sebagai alat dakwah.
Di dalam museum yang terletak di sebelah timur makamnya terdapat seperangkat
bekas gamelan Jawa, hal itu menunjukkan betapa tinggi penghargaan Sunan Drajad
kepada kesenian Jawa.
Dalam catatan sejarah Wali Songo, Raden Qosim disebut sebagai seorang Wali yang
hidupnya paling bersahaja, walau dalam urusan dunia beliau juga sangat rajin
mencari rezeki. Hal itu disebabkan sikap beliau yang dermawan. Di kalangan
rakyat jelata beliau bersifat lemah lembut dan sering menolong mereka yang
menderita.
Ajaran Sunan Drajat yang Terkenal
Di antara ajaran beliau yang terkenal adalah sebagai berikut:
Menehono teken marang wong wuto
Menehono mangan marang wong kang luwe
Menehono busono marang wong kang wudo
Menehono ngiyup marang wong kang kudanan
Artinya kurang lebih demikian:
Berilah tongkat kepada orang yang buta
Berilah makan kepada orang yang kelaparan
Berilah pakaian kepada orang yang telanjang
Berilah tempat berteduh kepada orang yang kehujanan
Adapun maksudnya adalah sebagai berikut: Berilah petunjuk kepada orang bodoh
(buta). Sejahterakalah kehidupan rakyat yang miskin (kurang makan). Ajarkanlah
budi pekerti (etika) kepada orang yang tidak tahu malu atau belum punya peradaban
tinggi. Berilah perlindungan kepada orang-orang yang menderita atau ditimpa
bencana. Ajaran ini sangat supel, siapapun dapat mengamalkannya sesuai dengan
tingkat dan kemampuan masing-masing. Bahkan pemeluk agama lainpun tidak
berkeberatan untuk mengamalkannya.
Di samping terkenal sebagai seorang Wali yang berjiwa dermawan dan sosial,
beliau juga dikenal sebagai anggota Wali Songo yang turut serta mendukung
dinasti Demak. Simbol kebesaran umat Islam pada waktu itu.
Di bidang kesenian, disamping terkenal sebagai ahli ukir, beliau juga pertama
kali yang menciptakan Gending Pangkur. Hingga sekarang gending tersebut masih
disukai rakyat Jawa. Sunan Drajat, demikian gelar Raden Qosim, diberikan kepada
beliau karena beliau bertempat tinggal di sebuah bukit yang tinggi, seakan
melambangkan tingkat ilmunya yang tinggi, yaitu tingkat atau derajat para ulama
muqarrobin. Ulama yang dekat dengan Allah swt.
8. Sunan Muria
Asal-usul
Beliau adalah putra Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Nama aslinya Raden Umar Said.
Seperti ayahnya, dalam berdakwah beliau menggunakan cara halus, ibarat
mengambil ikan tidak sampai mengeruhkan airnya. Itulah cara yang ditempuh untuk
menyiarkan agama Islam di sekitar Gunung Muria.
Tempat tinggal beliau di gunung Muria yang salah satu puncaknya bernama Colo.
Letaknya di sebelah utara kota Kudus. Menurut Solichin Salam, sasaran dakwah
beliau adalah para pedagang, nelayan, pelaut dan rakyat jelata. Beliaulah
satu-satunya wali yang tetap mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai
alat dakwah untuk menyampaikan Islam. Dan beliau pula yang menciptakan tembang
Sinom dan Kinanti.
Sakti Mandraguna
Bahwa Sunan Muria itu adalah Wali yang sakti, kuat fisiknya dapat dibuktikan
dengan letak Padepokannya yang terletak di atas gunung. Menurut pengalaman
penulis (Abu Khalid, MA) jarak antara kaki undag-undagan atau tangga dari bawah
bukit sampai ke makam Sunan Muria tidak kurang dari 750 m.
Bayangkanlah, jika Sunan Muria dan istrinya atau dengan muridnya setiap hari
harus naik turun, turun naik guna menyebarkan agama Islam kepada penduduk
setempat, atau berdakwah kepada para nelayan dan pelaut serta para pedagang.
Hal itu tidak dapat dilakukannya tanpa adanya fisik yang kuat. Soalnya
menunggang kuda tidak mungkin dapat dilakukan untuk mencapai tempat tinggal
Sunan Muria. Harus jalan kaki. Itu berarti Sunan Muria memiliki kesaktian
tinggi, demikian pula murid-muridnya.
Bukti bahwa Sunan Muria adalah guru yang sakti mandraguna dapat ditemukan dalam
kisah Perkawinan Sunan Muria dengan Dewi Roroyono. Dewi Roroyono adalah putri
Sunan Ngerang, yaitu seorang ulama yang disegani masyarakat karena ketinggian
ilmunya, tempat tinggalnya di Juana.
Demikian saktinya Sunan Ngerang ini sehingga Sunan Muria dan Sunan Kudus
sampai-sampai berguru kepada beliau.
Pada suatu hari Sunan Ngerang mengadakan syukuran atas usia Dewi Roroyono yang
genap dua puluh tahun. Murid-muridnya diundang semua. Seperti: Sunan Muria,
Sunan Kudus. Adipati Pathak Warak, Kapa dan adiknya Gentiri. Tetangga dekat
juga diundang, demikian pula sanak kadang yang dari jauh.
Setelah tamu berkumpul Dewi Roroyono dan adiknya yaitu Dewi Roro Pujiwati
keluar menghidangkan makanan dan miniman. Keduanya adalah dara-dara yang cantik
rupawan. Terutama Dewi Roroyono yang berusia dua puluh tahun, bagaikan bunga
yang sedang mekar-mekarnya.
Bagi Sunan Kudus dan Sunan Muria yang sudah berbekal ilmu agama dapat menahan
pandangan matanya sehingga tidak terseret oleh godaan setan. Tapi seorang murid
Sunan Ngerang yang lain yaitu Adipati Pathak Warak memandang Dewi Roroyono
dengan mata tidak berkedip melihat kecantikan gadis itu.
Sewaktu menjadi cantrik atau murid Sunan Ngerang, yaitu ketika Pathak Warak
belum menjadi seorang Adipati, Roroyono masih kecil, belum nampak benar
kecantikannya yang mempesona, sekarang, gadis itu benar-benar membuat Adipati
Pathak Warak tergila-gila. Sepasang matanya hampir melotot memandangi gadis itu
terus menerus.
Karena dibakar api asmara yang menggelora, Pathak Warak tidak tahan lagi. Dia
menggoda Roroyono dengan ucapan-ucapan yang tidak pantas. Lebih-lebih setelah
lelaki itu bertindak kurang ajar.
Tentu saja Roroyono merasa malu sekali, lebih-lebih ketika lelaki itu berlaku
kurang ajar dengan memegangi bagian-bagian tubuhnya yang tak pantas disentuh.
Si gadis naik pitam, nampan berisi minuman yang dibawanya sengaja ditumpahkan
ke pakaian sang Adipati.
Pathak Warak menyumpah-nyumpah, hatinya marah sekali diperlakukan seperti itu.
Apalagi dilihatnya para tamu menertawakan kekonyolannya itu, diapun semakin
malu. Hampir saja Roroyono ditamparnya kalau tidak ingat bahwa gadis itu adalah
putri gurunya.
Roroyono masuk kedalam kamarnya, gadis itu menangis sejadi-jadinya karena
dipermalukan oleh Pathak Warak.
Malam hari tamu-tamu dari dekat sudah pulang ke tempatnya masing-masing. Tamu
dari jauh terpaksa menginap di rumah Sunan Ngerang, termasuk Pathak Warak dan
Sunan Muria. Namun hingga lewat tengah malam Pathak Warak belum dapat
memejamkan matanya.
Pathak Warak kemudian bangkit dari tidurnya. Mengendap-endap ke kamar Roroyono.
Gadis itu disirapnya (sirap atau sirep dikenal sebagai ilmu semacam hipnotis),
sehingga tak sadarkan diri, kemudian melalui genteng Pathak Warak melorot turun
dan membawa lari gadis itu melalui jendela. Dewi Roroyono dibawa lari ke
Mandalika, wilayah Keling atau Kediri.
Setelah Sunan Ngerang mengetahui bahwa putrinya diculik oleh Pathak Warak, maka
beliau berikrar siapa saja yang berhasil membawa putrinya kembali ke Ngerang
akan dijodohkan dengan putrinya itu, dan bila perempuan akan dijadikan saudara
Dewi Roroyono. Tak ada yang menyatakan kesanggupannya. Karena semua orang telah
maklum akan kehebatan dan kekejaman Pathak Warak. Hanya Sunan Muria yang
bersedia memenuhi harapan Sunan Ngerang.
“Saya akan berusaha mengambil Diajeng Roroyono dari tangan Pathak Warak”, kata
Sunan Muria.
Tetapi, di tengah perjalanan Sunan Muria bertemu dengan Kapa dan Gentiri, adik
seperguruan yang lebih dahulu pulang sebelum acara syukuran berakhir. Kedua
orang itu merasa heran melihat Sunan Muria berlari cepat menuju arah daerah
Keling.
“Mengapa Kakang tampak tergesa-gesa?”, tanya Kapa. Sunan Muria lalu
menceritakan penculikan Dewi Roroyono yang dilakukan oleh Pathak Warak.
Kapa dan Gentiri sangat menghormati Sunan Muria sebagai saudara seperguruan
yang lebih tua. Keduanya lantas menyatakan diri untuk membantu Sunan Muria
merebut kembali Dewi Roroyono.
“Kakang sebaiknya pulang ke Padepokan Gunung Muria. Murid-murid Kakang sangat
membutuhkan bimbingan. Biarlah kami yang berusaha merebut diajeng Roroyono
kembali. Kalau berhasil Kakang tetap berhak mengawininya, kami hanya sekedar
membantu”, demikian kata Kapa.
“Aku masih sanggup untuk merebutnya sendiri”, ujar Sunan Muria. “Itu benar,
tapi membimbing orang memperdalam agama Islam juga lebih penting, percayalah
pada kami. Kami pasti sanggup merebutnya kembali”, kata Kapa ngotot.
Sunan Muria akhirnya meluluskan permintaan adik seperguruannya itu. Rasanya
tidak enak menolak seseorang yang hendak berbuat baik. Lagi pula ia harus
menengok para santri di Padepokan Gunung Muria.
Untuk merebut Dewi Roroyono dari tangan Pathak Warak, Kapa dan Gentiri ternyata
meminta bantuan seorang Wiku Lodhang Datuk di pulau Sprapat yang dikenal
sebagai tokoh sakti yang jarang ada tandingannya. Usaha mereka berhasil. Dewi
Roroyono dikembalikan ke Ngerang.
Hari berikutnya Sunan Muria hendak ke Ngerang. Ingin mengetahui perkembangan
usaha Kapa dan Gentiri. Di tengah jalan beliau bertemu dengan Adipati Pathak
Warak.
“Hai Pathak Warak berhenti kau!”, bentak Sunan Muria. Pathak Warak yang sedang
naik kuda terpaksa berhenti, karena Sunan Muria menghadang di depannya.
“Minggir! Jangan menghalangi jalanku!”, hardik Pathak Warak. “Boleh, asal kau
kembalikan Dewi Roroyono!” “Goblok ! Roroyono sudah dibawa Kapa dan Gentiri!
Kini aku hendak mengejar mereka!”, umpat Pathak Warak. “Untuk apa kau mengejar
mereka?” “Merebutnya kembali!”, jawab Pathak Warak dengan sengit. “Kalau begitu
langkahi dulu mayatku, Roroyono telah dijodohkan denganku!” ujar Sunan Muria
sambil pasang kuda-kuda.
Tanpa basa-basi Pathak Warak melompat dari punggung kuda. Dia merangsak ke arah
Sunan Muria dengan jurus-jurus cakar harimau. Tapi dia, bukan tandingan putra
Sunan Kalijaga yang memiliki segudang kesaktian.
Hanya dalam beberapa kali gebrakan, Pathak Warak telah jatuh atau roboh di
tanah dalam keadaan fatal. Seluruh kesaktiannya lenyap dan ia menjadi lumpuh,
tak mampu untuk bangkit berdiri apalagi berjalan.
Sunan Muria kemudian meneruskan perjalanan ke Juana. Kedatangannya disambut
gembira oleh Sunan Ngerang. Karena Kapa dan Gentiri telah bercerita secara
jujur bahwa mereka sendirilah yang memaksa mengambil alih tugas Sunan Muria
mencari Roroyono, maka Sunan Ngerang pada akhirnya menjodohkan Dewi Roroyono
dengan Sunan Muria. Upacara pernikahan pun segera dilaksanakan.
Kapa dan Gentiri yang berjasa besar itu diberi hadiah Tanah di desa Buntar.
Dengan hadiah itu keduanya sudah menjadi orang kaya yang hidupnya serba
berkecukupan.
Sedang Sunan Muria segera memboyong istrinya ke Padepokan Gunung Muria. Mereka
hidup bahagia, karena merupakan pasangan ideal.
Tidak demikian halnya dengan Kapa dan Gentiri. Sewaktu membawa Dewi Roroyono
dari Keling ke Ngerang agaknya mereka terlanjur terpesona oleh kecantikan
wanita jelita itu. Siang malam mereka tak dapat tidur. Wajah wanita itu
senantiasa terbayang. Namun karena wanita itu sudah diperistri kakak
seperguruannya mereka tak dapat berbuat apa-apa lagi. Hanya penyesalan yang
menghujam di dada. Mengapa dulu mereka buru-buru menawarkan jasa baiknya.
Betapa enaknya Sunan Muria, tanpa bersusah payah sekarang menikmati kebahagiaan
bersama gadis yang mereka dambakan. Inilah hikmah ajaran agama agar laki-laki
diharuskan menahan pandangan matanya dan menjaga kehormatan (kemaluan) mereka.
Andaikata Kapa dan Gentiri tidak menatap terus menerus kearah wajah dan tubuh
Dewi Roroyono yang indah itu pasti mereka tidak akan terpesona, dan tidak
terjerat oleh Iblis yang memasang perangkap pada pandangan mata.
Kini Kapa dan Gentiri benar-benar telah dirasuki Iblis. Mereka bertekad hendak
merebut Dewi Roroyono dari tangan Sunan Muria. Mereka telah sepakat untuk
menjadikan wanita itu sebagai istri bersama secara bergiliran. Sungguh keji
rencana mereka.
Gentiri berangkat lebih dulu ke Gunung Muria. Namun ketika ia hendak
melaksanakan niatnya dipergoki oleh murid-murid Sunan Muria, sehingga
terjadilah pertempuran dahsyat. Apalagi ketika Sunan Muria keluar menghadapi
Gentiri, suasana menjadi semakin panas, hingga akhirnya Gentiri tewas menemui
ajalnya di puncak Gunung Muria.
Kematian Gentiri cepat tersebar ke berbagai daerah. Tapi tidak membuat surut
niat Kapa. Kapa cukup cerdik. Dia datang ke Gunung Muria secara diam-diam di
malam hari. Tak seorang pun yang mengetahuinya.
Kebetulan pada saat itu Sunan Muria dan beberapa murid pilihannya sedang
bepergian ke Demak Bintoro. Kapa menyirap (sirep: dikenal sebagai ilmu sirep,
semacam hipnotis) murid-murid Sunan Muria yang berilmu rendah… yang ditugaskan
menjaga Dewi Roroyono. Kemudian dengan mudahnya Kapa menculik dan membawa
wanita impiannya itu ke pulau Seprapat.
Pada saat yang sama, sepulangnya dari Demak Bintoro, Sunan Muria bermaksud
mengadakan kunjungan kepada Wiku Lodhang datuk di Pulau Seprapat. Ini biasa
dilakukannya karena baginya bersahabat dengan pemeluk agama lain bukanlah suatu
dosa. Terlebih sang Wiku itu pernah menolongnya merebut Dewi Roroyono dari
Pathak Warak.
Seperti ajaran Sunan Kalijaga yang mampu hidup berdampingan dengan pemeluk
agama lain dalam suatu negeri. Lalu ditunjukkan akhlak Islam yang mulia dan
agung. Bukannya berdebat tentang perbedaan agama itu sendiri. Dengan menerapkan
ajaran-ajaran akhlak yang mulia itu nyatanya banyak pemeluk agama lain yang
pada akhirnya tertarik dan masuk Islam secara sukarela.
Ternyata, kedatangan Kapa ke Pulau Seprapat itu tidak disambut baik oleh Wiku
Lodhang datuk.
“Memalukan! Benar-benar nista perbuatanmu itu! Cepat kembalikan istri kakang
seperguruanmu sendiri itu!”, hardik Wiku Lodhang Datuk dengan marah.
“Bapa Guru ini bagaimana, bukankah aku ini muridmu? Mengapa tidak kau
bela?”protes Kapa. “Sampai mati pun aku takkan sudi membela kebejatan budi
pekerti walau pelakunya itu muridku sendiri!”.
Perdebatan antara guru dan murid itu berlangsung lama. Tanpa mereka sadari
Sunan Muria sudah sampai di tempat itu. Betapa terkejutnya Sunan Muria melihat
istrinya sedang tergolek di tanah dalam keadaan terikat kaki dan tangannya.
Sementara Kapa dilihatnya sedang adu mulut dengan gurunya yaitu Wiku Lodhang
Datuk.
Begitu mengetahui kedatangan Sunan Muria, Kapa langsung melancarkan serangan
dengan jurus-jurus maut. Wiku Lodhang Datuk menjauh, melangkah menuju Dewi
Roroyono untuk membebaskan dari belenggu yang dilakukan Kapa.
Bersamaan dengan selesainya sang Wiku membuka tali yang mengikat tubuh Dewi
Roroyono. Tiba-tiba terdengar jeritan keras dari mulut Kapa. Ternyata, serangan
dengan pengerahan aji kesaktian yang dilakukan Kapa berbalik menghantam dirinya
sendiri. Itulah ilmu yang dimiliki Sunan Muria. Mampu membalikkan serangan
lawan.
Karena Kapa mempergunakan aji pamungkas yaitu puncak kesaktian yang dimilikinya
maka ilmu itu akhirnya merenggut nyawanya sendiri.
“Maafkan saya tuan Wiku…”, ujar Sunan Muria agak menyesal. “Tidak mengapa.
Menyesal aku telah turut memberikan ilmu kepadanya. Ternyata ilmu itu digunakan
untuk jalan kejahatan”, gunam sang Wiku.
Bagaimana pun Kapa adalah muridnya, pantaslah kalau dia menguburkannya secara
layak. Pada akhirnya Dewi Roroyono dan Sunan Muria kembali ke Padepokan dan
hidup berbahagia.
9. Sunan Gunung Jati
Asal-usul
Dalam usia masih muda Syarif Hidayatullah ditinggal mati oleh ayahnya. Ia
ditunjuk untuk menggantikan kedudukannya sebagai Raja Mesir. Tapi anak muda
yang masih berusia dua puluh tahun itu tidak mau. Dia dan ibunya bermaksud
pulang ke tanah Jawa berdakwah di Jawa Barat. Kedudukan ayahnya itu kemudian
diberikan kepada adiknya yaitu Syarif Nurullah.
Sewaktu berada di negeri Mesir, Syarif Hidayatullah berguru kepada beberapa
ulama besar di daratan Timur Tengah. Dalam usia muda itu ilmunya sudah sangat
banyak, maka ketika pulang ke tanah leluhurnya yaitu Jawa ia tidak merasa kesulitan
melakukan dakwah.
Perjuangan Sunan Gunungjati
Seringkali terjadi kerancuan antara nama Fatahillah dengan Syarif Hidayatullah
yang bergelar Sunan Gunungjati. Orang menganggap Fatahillah dan Syarif
Hidayatullah adalah satu, tetapi yang benar adalah dua orang. Syarif
Hidayatullah cucu Raja Pajajaran adalah seorang penyebar agama Islam di Jawa
Barat yang kemudian disebut Sunan Gunungjati. Sedang Fatahillah adalah seorang
pemuda Pasai yang dikirim Sultan Trenggana membantu Sunan Gunungjati berperang
melawan penjajah Portugis. Bukti bahwa Fatahillah bukan Sunan Gunungjati adalah
makam dekat Sunan Gunungjati yang ada tulisan Tubagus Pasai fathullah atau
Fatahillah atau Faletehan menurut lidah orang Portugis.
Syarif Hidayatullah dan ibunya Syarifah Muda’im datang di negeri Caruban Larang
Jawa Barat pada tahun 1475 sesudah mampir dahulu di Gujarat dan Pasai untuk
menambah pengalaman. Kedua orang itu disambut gembira oleh Pangeran Cakrabuana
dan keluarganya. Syekh Datuk Kahfi sudah wafat, guru Pangeran Cakrabuana dan
Syarifah Muda’im itu dimakamkan di Pasambangan. Dengan alasan agar selalu dekat
dengan makam gurunya. Syarifah Muda’im minta agar diijinkan tinggal di
Pasambangan atau Gunungjati.
Syarifah Muda’im dan putranya yaitu Syarif Hidayatullah meneruskan usaha Syekh
Datuk Kahfi membuka Pesanteren Gunungjati. Sehingga kemudian dari Syarif
Hidayatullah lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunungjati. Tibalah saat yang
ditentukan, Pangeran Cakrabuana menikahkan anaknya yaitu Nyi Pakungwati dengan
Syarif Hidayatullah. Selanjutnya yaitu pada tahun 1479, karena usianya sudah
lanjut, Pangeran Cakrabuana menyerahkan kekuasaan Negeri Caruban kepada Syarif
Hidayatullah dengan gelar Susuhunan artinya orang yang dijunjung tinggi.
Disebutkan, pada tahun pertama pemerintahannya Syarif Hidayatullah berkunjung
ke Pajajaran untuk mengunjungi kakeknya yaitu Prabu Siliwangi. Sang Prabu
diajak masuk Islam kembali tapi tidak mau. Meski Prabu Siliwangi tidak mau
masuk Islam, dia tidak menghalangi cucunya menyiarkan agama Islam di wilayah
Pajajaran.
Syarif Hidayatullah kemudian menlanjutkan perjalanannya ke Serang. Penduduk
Serang sudah ada yang masuk Islam dikarenakan banyaknya saudagar dari Arab dan
Gujarat yang sering singgah ke tempat itu. Kedatangan Syarif Hidayatullah
dijodohkan dengan putri Adipati Banten yang bernama Nyi Kawungten. Dari
perkawinan inilah kemudian Syarif Hidayatullah dikaruniai dua orang anak yaitu
Nyi Ratu Winaon dan Pangeran Sebakingking. Dalam menyebarkan agama Islam di
Tanah Jawa, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunungjati tidak bekerja sendirian,
beliau sering ikut bermusyawarah dengan anggota wali lainnya di Masjid Demak.
Bahkan disebutkan beliau juga membantu berdirinya Masjid Demak.
Dari pergaulannya dengan Sultan Demak dan para wali lainnya ini akhirnya Syarif
Hidayatullah mendirikan Kesultanan Pakungwati dan ia memproklamirkan diri
sebagai Raja yang pertama dengan gelar Sultan. Dengan berdirinya Kesultanan
tersebut Cirebon tidak lagi mengirim upeti kepada Pajajaran yang biasanya
disalurkan lewat Kadipaten Galuh.
Dengan bergabungnya prajurit dan perwira pilihan ke Cirebon maka makin
bertambah besarlah pengaruh Kasultanan Pakungwati. Daerah-daerah lain seperti:
Surantaka, Japura, Wanagiri, Telaga dan lain-lain menyatakan diri menjadi
wilayah Kasultanan Cirebon. Lebih-lebih dengan diperluasnya Pelabuhan Muara
Jati, makin bertambah besarlah pengaruh Kasultanan Cirebon. Banyak pedagang
besar dari negeri asing datang menjalin persahabatan. Diantaranya dari negeri
Tiongkok. Salah seroang keluarga istana Cirebon kawin dengan Pembesar dari
negeri Cina yang berkunjung ke Cirebon yaitu Ma Huan. Maka jalinan antara
Cirebon dan negeri Cina makin erat.
Bahkan Sunan Gunungjati pernah diundang ke negri Cina dan kawin dengan putri
kaisar Cina yang bernama Putri Ong Tien. Kaisar Cina yang pada saat itu dari
dinasti Ming juga beragama Islam. Dengan perkawinan itu sang Kaisar ingin
menjalin erat hubungan baik antara Cirebon dengan negeri Cina. Hal ini ternyata
menguntungkan bangsa Cina untuk dimanfaatkan dalam dunia perdagangan.
Sesudah kawin dengan Sunan Gunungjati, Putri Ong Tien diganti namanya menjadi
Nyi Ratu Rara Semanding. Kaisar, ayah putri Ong Tien ini membekali putrinya
dengan harta benda yang tidak sedikit. Sebagian besar barang-barang peninggalan
putri Ong Tien yang dibawa dari negeri Cina itu sampai sekarang masih ada dan
tersimpan di tempat yang aman. Istana dan masjid Cirebon kemudian dihiasi dan
diperluas lagi dengan motif-motif hiasan dinding dari negeri Cina.
Masjid Agung Sang Ciptarasa dibangun pada tahun 1480 atas prakarsa Nyi Ratu
Pakungwati atau istri Sunan Gunungjati. Dari pembangunan masjid itu melibatkan
banyak pihak, diantaranya wali songo dan sejumlah tenaga ahli yang dikirim oleh
Raden Patah. Dalam pembangunan itu Sunan alijaga mendapat penghormatan untuk
mendirikan Soko Tatal sebagai lambang persatuan ummat. Selesai membangun
masjid, diteruskan dengan membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan Cirebon
dengan daerah-daerah Kadipaten lainnya untuk memperluas pengembangan Islam di
seluruh tanah Pasundan. Prabu Siliwangi hanya bisa menahan diri atas
perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas itu. Bahkan wilayah Pajajaran
sendiri sudah semakin terhimpit.
Pada tahun 1511 Malaka diduduki oleh bangsa Portugis. Selanjutnya mereka ingin
meluaskan kekuasaannya ke pulau Jawa. Pelabuhan Sunda Kelapa yang jadi incaran
mereka untuk menancapkan kuku penjajahan. Demak Bintoro tahu bahaya besar yang
mengancam kepulauan Nusantara. Oleh karena itu Raden Patah mengirim Adipati
Unus atau Pangeran Sabrang Lor untuk menyerang Portugis di Malaka. Tetapi usaha
itu tak membuahkan hasil, persenjataan Portugis terlalu lengkap, dan mereka
terlanjur mendirikan benteng yang kuat dim Malaka.
Ketika Adipati Unus kembali ke Jawa, seorang pejuang dari Pasai (Malaka)
bernama Fatahillah ikut berlayar ke Pulau Jawa. Pasai sudah tidak aman lagi
bagi mubaligh seperti Fatahillah karena itu beliau ingin menyebarkan agama
Islam di Tanah Jawa.
Pada tahun 1521 Sultan Demak dipegang oleh Raden Trenggana putra Raden Patah
yang ketiga. Di dalam pemerintahan Sultan Trenggana inilah Fatahillah diangkat
sebagai Panglima Perang yang akan ditugaskan mengusir Portugis di Sunda Kelapa.
Fatahillah yang pernah berpengalaman melawan Portugis di Malaka sekarang harus
mengangkat senjata lagi. Dari Demak mula-mula pasukan yang dipimpinnya menuju
Cirebon. Pasukan gabungan Demak Cirebon itu kemudian menuju Sunda Kelapa yang
sudah dijarah Portugis atas bantuan Pajajaran. Mengapa Pajajaran membantu
Portugis? Karena Pajajaran merasa iri dan dendam pada perkembangan wilayah
Cirebon yang semakin luas. Ketika Portugis menjanjikan bersedia membantu
merebut wilayah Pajajaran yang dikuasai Cirebon maka Raja Pajajaran
menyetujuinya.
Mengapa Pasukan gabungan Demak-Cirebon itu tidak dipimpin oleh Sunan
Gunungjati? Karena Sunan Gunungjati tahu dia harus berperang melawan kakeknya
sendiri, maka diperintahkannya Fatahillah memimpin serbuan itu.
Pengalaman adalah guru yang terbaik. Dari pengalamannya bertempur di Malaka,
tahulah Fatahillah titik-titik lemah tentara dan siasat Portugis. Itu sebabnya
dia dapat memberi komando dengan tepat dan setiap serangan Demak-Cirebon selalu
membawa hasil gemilang. Akhirnya Portugis dan Pajajaran kalah. Portugis kembali
ke Malaka, sedang tentara Pajajaran cerai berai tak menentu arahnya.
Selanjutnya Fatahillah ditugaskan mengamankan Banten dari gangguan para
pemberontak yaitu sisa-sisa pasuka Pajajaran. Usaha ini tidak menemui kesulitan
karena Fatahillah dibantu oleh putra Sunan Gunungjati yang bernama Pangeran
Sebakingking. Di kemudian hari Pangeran Sebakingking ini menjadi penguasa
Banten dengan gelar Pangeran Hasanuddin. Fatahillah kemudian diangkat sebagai
Adipati di Sunda Kelapa. Dan merubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta.
Fatahillah tidak dapat tinggal lebih lama di Jayakarta, karena Gunungjati
selaku Sultan Cirebon telah memanggilnya untuk meluaskan daerah Cirebon agar
Islam lebih merata di Jawa Barat.
Kemenangan demi kemenangan berhasil diraih Fatahillah. Akhirnya Sunan
Gunungjati memanggil ulama dari Pasai itu ke Cirebon. Sunan Gunungjati
menjodohkan Fatahillah dengan Ratu Wulung Ayu. Sementara kedudukan Fatahillah
selaku Adipati Jayakarta kemudian diserahkan kepada Ki Bagus Angke. Ketika usia
Sunan Gunungjati sudah semakin tua, beliau mengangkat putranya yaitu Pangeran Muhammad
Arifin sebagai Sultan Cirebon kedua dengan gelar Pangeran Pasara Pasarean.
Fatahillah yang di Cirebon sering disebut Tubagus atau Kyai Bagus Pasai
diangkat menjadi penasehat sang Sultan. Sunan Gunungjati lebih memusatkan diri
pada penyiaran dakwah Islam di Gunungjati atau pesantren Pasambangan. Namun
lima tahun sejak pengangkatannya mendadak Pangeran Muhammad Arifin meninggal
dunia mendahului ayahandanya.
Kedudukan Sultan kemudian diberikan kepada Pangeran Sebakingking yang bergelar
Sultan Maulana Hasanuddin, dengan kedudukannya di Banten. Sedang Cirebon
walaupun masih tetap digunakan sebagai kasultanan tapi Sultannya hanya bergelar
Adipati. Yaitu Adipati Carbon I. Adipati Carbon I ini adalah menantu Fatahillah
yang diangkat sebagai Sultan Cirebon oleh Sunan Gunungjati. Sunan Gunungjati
wafat pada tahun 1568 dalam usia 120 tahun. Bersama ibunya, Pangeran Cakrabuana
beliau dimakamkan di Gunung Sembung. Dua tahun kemudian wafat pula Kyai Bagus
Pasai. Fatahillah dimakamkan di tempat yang sama, makam kedua tokoh itu
berdampingan, tanpa diperantarai apapun juga.
Legenda Sunan Gunungjati dan Putri Cina
Kurang lebi sekitar tahun 479, Sunan Gunungjati pergi ke daratan Cina dan
tinggal di daerah Nan King. Di sana ia digelari dengan sebutan Maulana Insanul
Kamil.
Daratan Cina sejak lama dikenal sebagai gudangnya ilmu pengobatan, maka di sana
Sunan Gunungjati juga berdakwah dengan jalan memanfaatkan ilmu pengobatan.
Beliau menguasai ilmu pengobatan tradisional. Di samping itu, pada setiap
gerakan fisik dari ibadah shalat sebenarnya merupakan gerakan ringan dari
terapi pijat atau akupuntur –terutama bila seseorang mau mendirikan shalat
dengan baik, benar lengkap dengan amalan sunnah dan tuma’ninahnya. Dengan
mengajak masyarakat Cina agar tidak makan daging babi yang mengandung cacing
pita, dan giat mendirikan shalat lima waktu, makam orang yang berobat kepada
Sunan Gunungjati banyak yang sembuh sehingga nama Gunungjati menjadi terkenal
di seluruh daratan Cina.
Di negeri Naga itu Sunan Gunungjati berkenalan dengan Jenderal Cheng Ho dan
sekretaris kerajaan bernama Ma Huan, serta Feis Hsin, ketiga orang ini sudah
masuk Islam.
Pada suatu ketika Gunungjati berkunjung ke hadapan Kaisar Hong Gie, pengganti
Kaisar Yung Lo dari dinasti Ming. Dalam kunjungan itu Sunan Gunungjati
berkenalan dengan putri Kaisar yang bernama Ong Tien.
Menurut versi lain yang mirip sebuah legenda, sebenarnya kedatangan Sunan
Gunungjati di negeri Cina adalah karena tidak sengaja. Pada suatu malam, beliau
hendak melaksanakan shalat Tahajud. Beliau hendak shalat di rumah tapi tidak
bisa khusyu’. Beliau heran, padahal bagi para wali, sahalat tahajud itu adalah
kewajiban yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Kemudian Sunan Gunungjati shalat di atas perahu yang ditambatkan di tepi pantai
Cirebon. Di sana beliau dapat shalat dengan khusyu’. Bahkan dapat tidur dengan
nyenyak setelah shalat dan berdoa.
Ketika beliau terbangun, beliau merasa kaget. Daratan pulau Jawa tidak nampak
lagi. Tanpa sepengetahuannya beliau telah dihanyutkan ombak hingga sampai ke
negeri Cina.
Di negeri Cina beliau membuka praktik pengobatan. Penduduk Cina yang berobat
disuruhnya melaksanakan shalat. Setelah mengerjakan shalat mereka sembuh. Makin
hari namanya makinterkenal, beliau dianggap sebagai shinse atau tabib sakti
yang berkepandaian tinggi.
Kabar adanya tabib asing yang berkepandaian tinggi terdengar oleh Kaisar. Sunan
Gunungjati dipanggil ke istana. Kaisar Cina hendak menguji kepandaian Sunan
Gunungjati. Sebagai seorang tabib dia pasti dapat mengetahui nama seorang yang
hamil muda atau belum hamil.
Dua orang Kaisar disuruh maju. Sedang yang seorang lagi masih perawan namun
perutnya diganjal dengan bantal sehingga nampak seperti orang hamil. Sementara
yang benar-benar hamil perutnya masih kelihatan kecil sehingga nampak seperti
orang yang belum hamil.
“Hai tabib! Mana di antara puteriku yang hamil?” tanya Kaisar. Sunan Gunungjati
diam sejenak, ia berdoa kepada Tuhan. “Hai orang asing mengapa kau diam? Cepat
kau jawab!”, bentak Kaisar Cina.
“Dia!” jawab Sunan Gunungjati sembari menunjuk putri Ong Tien yang masih
perawan. Kaisar tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban itu. Demikian pula
seluruh menteri dan semua orang yang ada di balairung istana Kaisar. Namu
tiba-tiba tawa mereka terhenti, karena putri Ong Tien menjerit keras sembari
memegangi perutnya. “Ada apa anakku?” tanya Kaisar. “Ayah! Saya benar-benar
hamil!”
Maka gemparlah seisi istana. Ternyata bantal yang di perut Puteri Ong Tien
telah lenyap entah kemana. Sementara perut putri yang cantik itu benar-benar
membesar seperti orang hamil.
Kaisar munjadi murka. Sunan Gunungjati diusir dari daratan Cina. Sunan
Gunungjati menurut. Hari itu juga ia pamit pulang ke Pulau Jawa. Namun Puteri
Ong Tien ternyata terlanjur jatuh cinta kepada Sunan Gunungjati maka dia minta
kepada ayahnya agar diperbolehkan menyusul Sunan Gunungjati ke Pulau Jawa.
Kaisar Hong Gie akhirnya mengijinkan puterinya menyusul Sunan Gunungjati ke
Pulau Jawa. Puteri Ong Tien dibekali harta benda dn barang-barang berharga
lainnya seperti bokor, guci emas, dan permata. Puteri cantik itu dikawal oleh
tiga orang pembesar kerajaan yaitu Pai Li Bang seorang menteri negara, Lie Guan
Chang dan Lie Guan Hien. Pai Li Bang adalah salah seorang murid Sunan Gunugjati
tatkala beliau berdakwah di negeri Cina.
Dalam pelayaran ke Pulau Jawa, mereka singgah di Kadipaten Sriwijaya. Begitu
mereka datang para penduduk menyambutnya dengan meriah sekali. Mereka merasa
heran.
“Ada apa ini?” Pai Li Bang bertanya kepada tetua masyarakat Sriwijaya. Tetua
masyarakat balik bertanya,”Siapa yang bernama Pai Li Bang?” “Saya sendiri”,
jawab Pai Li Bang. Kontan Pai Li Bang digotong penduduk di atas tandu.
Dielu-elukan sebagai pemimpin besar. Dia dibawa ke istana Kadipaten Sriwijaya.
Setelah duduk di kursi Adipati, Pai Li Bang bertanya,”Sebenarnya apa yang telah
terjadi?” Tetua masyarakat itu menernagkan,”Bahwa Adipati Ario Damar selaku
pemegang kekuasaan Sriwijaya telah meninggal dunia. Penduduk merasa bingung
mencari penggantinya, karena putera Ario Damar sudah menetap di Pulau Jawa.
Yaitu Raden Fatah dan Raden Hasan.
Dalam kebingungan itu muncullah Sunan Gunungjati, beliau berpesan bahwa
sebentar lagi akan datang rombongan muridnya dari negeri Cina, namanya Pai Li
Bang. Muridnya itulah yang pantas menjadi pengganti Ario Damar. Sebab muridnya
itu adalah seorang menteri negara di negeri Cina.
Setelah berpesan demikian Sunan Gunungjati meneruskan pelayarannya ke Pulau
Jawa. Pai Li Bang memang muridnya. Dia semakin kagum kepada gurunya yang
ternyata mengetahui sebelum kejadian, tahu kalau dia bakal menyusul ke Pulau
Jawa. Pai Li Bang tidak menolak kleinginan gurunya, dia bersedia menjadi
Adipati Sriwijaya. Dalam pemerintahannya Sriwijaya maju pesat sebagai kadipaten
yang paling makmur dan aman. Setelah Pai Li Bang meninggal dunia maka nama
kadipaten Sriwijaya diganti dengan nama kadipaten Pai Li Bang. Dalam
perkembangannya karena proses pengucapan lidah orang Sriwijaya maka lama
kelamaan kadipaten itu lebih dikenal dengan sebutan Palembang hingga sekarang.
Sementara itu Puteri Ong Tien meneruskan pelayarannya hingga ke Pulau Jawa.
Sampai di Cirebon dia mencari Sunan Gunungjati. Tapi Sunan Gunungjati sedang
berada di Luragung. Puteri itu pun menyusulnya. Pernikahan antara Puteri Ong
Tien dengan Sunan Gunungjati terjadi pada tahun 1481, tapi sayang pada tahun
1485 Puteri Ong Tien meninggal dunia. Maka jika anda berkunjung ke makam Sunan
Gunungjati di Cirebon janganlah anda merasa heran, di sana banyak ornamen Cina
dan nuansa-nuansa Cina lainnya. Memang ornamen dan barang-barang antik itu
berasal dari Cina.