Thursday, November 14, 2013

WIRID PURBA JATI MENGENAL JATI DIRI

WIRID PURBA JATI : MENGENALI JATI DIRI; Neng, Ning, Nung, Nang

MENGENALI JATI DIRI
Hakekat Neng, Ning, Nung, Nang

Siapa sejatinya diri kita sebagai manusia ? Pertanyaan ini sederhana, dapat dikemukakan jawaban paling sederhana, maupun jawaban yg lebih rumit dan rinci. Jawaban masing-masing orang tidak bisa diukur secara benar-salah. Cara menjawab siapa diri manusia hanya akan mencerminkan tingkat pemahaman seseorang terhadap kesejatian Tuhan. Hal ini sangat dipermaklumkan karena berkenaan dengan eksistensi Tuhan sendiri yg begitu penuh dengan misteri besar. Upaya manusia mengenali Sang Pencipta, ibarat jarum yg menyusup ke dalam samudra dunia. Yang hanya mengerti atas apa yg bersentuhan dengannya. Itupun belum tentu benar dan tepat dalam mendefinisikan. Tuhan memang lebih dari Maha Besar. Sedangkan manusia hanya selembut molekul garam. Begitulah jika diperbandingkan antara Tuhan dengan makhluk-Nya. Namun begitu kiranya lebih baik mengerti dan memahamiNya sekalipun hanya sedikit dan kurang berarti, ketimbang tidak samasekali.

Secara garis besar dalam diri manusia memiliki dua unsur antitas yg sangat berbeda. Dalam pandangan ektsrim dikatakan dua unsur pembentuk manusia saling bertentangan satu sama lainnya. Tetapi kedua unsur tidak dapat di pisahkan, karena keduanya sebagai satu kesatuan yg tak terpisahkan. Terpisahnya di antara kedua unsur pembentuk manusia akan merubah eksistensi ke-manusia-an itu sendiri. Yakni di satu sisi terjadi kerusakan/pembusukan dan di sisi lain keabadian. Umpama batu-baterei yg memiliki dua dimensi berbeda yakni fisiknya dan energinya. Kedua dimensi itu menyatu menjadi eksistensi batu-baterei berikut fungsinya. Dua unsur dalam manusia yakni; immaterial dan material, metafisik dan fisik, roh dan jasad, rohani dan jasmani, unsur TUHAN dan unsur BUMI (unsur gaib dan unsur wadag). Marilah kita urai satu persatu kedua unsur pembentuk sksistensi manusia tersebut.

UNSUR BUMI

Jasad manusia wujudnya disusun berdasarkan unsur-unsur material bumi (air, tanah, udara, api). Unsur air dan tanah dalam tubuh terurai secara alami melalui proses ilmiah ( rumus ilmu pengetahuan manusia) dan rumus alamiah (yg sudah berproses melalui rumus-rumus buatan Tuhan). Unsur tanah dan air yg sudah berproses akan berubah bentuk dan wujudnya sebagai bahan baku utama jasad yg terdiri dari empat unsur yakni ; daging, tulang, sungsum dan darah. Sedangkan unsur udara akan berproses menjadi kegiatan bernafas, lalu berubah menjadi molekul oksigen dalam darah dan sel-sel tubuh. Unsur api akan menjadi alat pembakaran dalam proses produksi jasad, tenaga, energi magnetis, dan semua energi yg terlibat dalam memproses atau mengolah unsur tanah dan air menjadi bahan baku jasad.

Jasad WADAG menurut istilah barat sebagai body atau corpus, merupakan wadah atau bungkus unsur Tuhan dalam diri manusia. Unsur wadah tidak bersifat langgeng (baqa'), sebab unsur wadah terdiri dari bahan baku bumi, maka ia terkena rumus mengalami kerusakan sebagaimana rumus bumi.

UNSUR TUHAN

Sebaliknya, unsur Tuhan bersifat kekal abadi tidak terjadi rumus kerusakan. Unsur Tuhan (Zat Tuhan) dalam tubuh manusia diwakili oleh metafisik manusia yakni unsur roh (spirit atau spiritus). Roh merupakan derivasi unsur Tuhan yg paling akhir dan paling erat dengan bahan baku metafisik manusia. Dan spirit diartikan sebagai roh, ruh atau sukma. Roh bersifat suci (roh kudus / ruhul kuddus), tidak tercemar oleh "polusi" dan kelemahan-kelemahan duniawi. Karakter roh adlh berkiblat atau berorientasi kepada martabat kesucian Tuhan. Arti kata roh sangat berbeda dengan entitas jiwa (soul), hawa atau nafas (nafs), animus atau anemos (Yunani), dalam bahasa Jawa apa yg lazim disebut nyawa. Sekalipun berbeda istilah, tetapi memiliki makna yg nyaris sama.

PERTEMUAN UNSUR BUMI DAN UNSUR TUHAN

Dalam tubuh manusia terdiri atas dua unsur besar yakni unsur bumi dan unsur Tuhan. Di antara kedua unsur tersebut terdapat "bahan penyambung", dalam literatur barat disebut soul atau jiwa (yg ini terasa kurang pas), Islam; nafs, Yunani; anemos, dan dalam bahasa Indonesia; hawa, Jawa; nyawa (badan alus). Hawa, jiwa, anemos, soul, atau nyawa merupakan satu entitas yg kira-kira tidak berbeda maknanya, berfungsi sebagai media persentuhan atau "lem perekat" antara roh (spirit) dengan jasad (body/corpus). Hawa, nafs, anemos, soul, jiwa, nyawa bermakna sesuatu yg hidup (bernafas) yg ditiupkan ke dalam corpus (wadah atau bungkus).

Dalam khasanah hermeneutika dan bahasa yg ada di nusantara tampak simpang siur dan tumpang tindih dalam memakai jiwa, sukma, roh, dan nyawa. Ini sekaligus membuktikan bahwa memahami unsur Tuhan dalam diri manusia memang tidak sederhana dan semudah yg disebutkan. Karena obyeknya bersifat gaib, bukan obyek material. Cara pandang dan penafsiran dari sisi yg berbeda-beda, menimbulkan konsekuensi beragamnya makna yg kadang justru saling kontradiktif. Dengan alasan tersebut akan saya paparkan lebih jelas pemetaan tentang jiwa atau hawa dari sudut pandang budi-daya yg diperoleh melalui berbagai pengalaman obyek metafisika, dan intuisi, agar lebih netral dan mudah dipahami oleh siapa saja tanpa membedakan latar belakang agama. Dengan asumsi tersebut diperlukan perspektif yg sederhana namun mudah dipahami. Kami akan memaparkan melalui perspektif Javanism atau kejawen, dengan cara penulisan yg sederhana dan "membumi".

HUBUNGAN UNSUR TUHAN DENGAN UNSUR BUMI DALAM LAKU PRIHATIN

Setiap bayi lahir memiliki tingkat kesucian yg dapat diumpamakan sebagai kertas putih bersih. Kesucian berada dalam wahana nafs atau hawa yg masih belum tercemar oleh "polusi" keduniawian. Hawa/nyawa/nafs diuji bolak-balik di antara dua kutub; yakni kutub jasmaniah yg berpusat di jasad (corpus) dan kutub ruhaniyah yg berpusat pada roh (spirit). Unsur roh bersifat suci dan tidak tersentuh oleh kelemahan-kelemahan material duniawi (dosa). Roh suci sebagai "utusan" Tuhan dalam diri manusia yg dapat membawa ketetapan/pedoman hidup. Sehingga roh dapat berperan sebagai obor yg memancarkan cahaya (spektrum) kebenaran dari Tuhan. Dalam perspektif Jawa roh suci (utusan Tuhan) tidak lain adlh apa yg disebut sebagai Guru Sejati. Guru Sejati tampil sebagai juru nasehat untuk hawa, jiwa atau nafs.

HAWA NAFSU ; IBARAT SATU KEPING MATA UANG

Hawa (nafs) atau jiwa yg tunduk kepada roh suci (guru sejati) akan menghasilkan hawa (nafs) yg disebut nafsu positif - meminjam istilah Arab - sebagai an-nafs al muthmainah. Sebaliknya jiwa atau hawa yg tunduk pada keinginan jasad disebut sebagai nafsu negatif. Nafsu negatif terdiri tiga macam; nafsu LAUWAMAH (kepuasan biologis; makan, minum, tidur dst), nafsu AMARAH (amarah/angkara murka), dan nafsu SUFIYAH (mengejar kenikmatan psikis; contohnya seks, sombong, narsism, gemar dipuji-puji). Hawa memiliki dua kutub nafsu yg bertentangan ibarat satu keping mata uang yg memiliki dua sisi. Akan tetapi kedua sisi tidak dapat dipisahkan atau dilihat secara berbarengan. Apabila kita ingin menampilkan gambar angka, maka letakkan nilai nominal di sisi atas, sebaliknya jika kita berkehendak melihat gambar burung kita letakkan gambar angka di bawah. Apabila seseorang mengaku bisa melihat kedua sisi satu keping mata uang dalam waktu yg sama, maka seseorang dikatakan berjiwa munafik alias kehidupan yg palsu hanya berdasarkan pengakuan bohong.

MANUSIA BEBAS MEMILIH

Pada setiap bayi lahir, Tuhan telah menciptakan hawa dalam keadaan putih/suci. Manusia memiliki kebebasan menentukan apakah hawa nafsunya akan berkiblat kepada kesucian yg bersumber pada roh suci (ruhul kuddus), atau sebaliknya ingin berkiblat kepada kemungkaran jasad/raga (unsur duniawi). Apabila seseorang berkiblat pada kemungkaran akan menjadi seteru Tuhan dan memiliki konsekuensi (dosa/karma/hukuman) yg akan dirasakan kelak setelah menemui ajal (akhirat), bisa juga dirasakan sewaktu masih hidup di dunia. Maka peranan semua agama yg ada di muka bumi adlh pendidikan yg ditujukan kepada hawa/nafs/jiwa manusia agar selalu berkiblat kepada rumus Tuhan atau "qodratullah". Sumber dari ilmu dan "rumus Tuhan" (qodratullah) bisa kita temukan dalam "perpustakaan" atau gudang ilmu yg terdekat dengan diri kita, yakni roh suci (Ruhul Kuddus/Guru-Sejati/Sukma-Sejati/Rahsa-Sejati).

Kadang kala Tuhan Maha Pemurah menganugerahkan seseorang untk mendapat "bocoran soal" akan rahasia "ilmu Tuhan" melalui pintu hati (qalb) yg di sinari oleh "cahya sejati" (nurullah). Yang lazim disebut sebagai ungkapan dari (hati) nurani. Petunjuk dari Tuhan ini di artikan sebagai wirayat, wahyu, risalah, sasmita gaib, ilham, wisik dan sebagainya.
LAKU PRIHATIN ADALAH JIHAD SEJATI

"Penundukan" roh terhadap hawa nafsu negatif adlh penundukkan terhadap segala yg berhubungan dengan material (syahwat) atau kenikmatan ragawi. Dengan kata lain yakni penundukan unsur "Tuhan" terhadap unsur bumi. Dalam ilmu Jawa dikatakan sebagai jiwa yg tunduk pada "kareping rahsa" / rasa sejati (kehendak Guru Sejati/kehendak Tuhan), serta meredam "rahsaning karep" (kemauan hawa nafsu negatif). Segenap upaya yg mendukung proses "penundukan" unsur Tuhan terhadap unsur bumi dalam khasanah Jawa disebut sebagai "laku prihatin". Dengan "laku prihatin", seseorang berharap jiwanya tidak dikendalikan oleh keinginan jasad. Maka di dalam khasanah spiritual Kejawen, laku prihatin merupakan syarat utama yg harus dilakukan seseorang menggapai tingkatan spiritualitas sejati. Seperti ditegaskan dalam serat Wedhatama (Jawa; Wredhotomo) karya KGPAA Mangkunegoro IV; bahwa ngelmu iku kalakone kanthi laku. Laku prihatin dalam istilah Arab sebagai aqabah, yakni jalan terjal mendaki dan sulit, karena seseorang yg menjalani laku prihatin harus membebaskan diri dari perbudakan syahwat dan hawa nafsu yg negatif. Dimana ia sebagai sumber kenikmatan keduniawian. Maka apa yg disebut sebagai Jihad yg sesungguhnya adlh perang tanding di dalam kalbu antara nafsu positif melawan nafsu negatif. Disebut kemenangan dalam berjihad apabila seseorang telah berhasil "meledakkan bom" di pusat keuasaan setan (hawa nafsu negatif) dalam diri kita. "Bahan peledaknya" bernama laku prihatin dan olah batin (wara' dan amr ma'ruf nahi munkar).

TARGET UTAMA DALAM "BERJIHAD" (LAKU PRIHATIN)

Perjalanan spiritual dalam bentuk laku prihatin, mempunyai target membentuk hawa nafsu positif atau nafsu muthmainnah. Karena si nafs atau hawa tersebut telah stabil dalam koridor rumus Tuhan (qodrat atau qudrah diri) atau dalam bahasa sansekerta lazimnya disebut sebagai "swadharma". Roh yg berada pada tataran pencapaian ini, dalam bahasa Ibrani, ruh disebut sebagai "syekinah" yg diturunkan ke dalam kalbu dan berhasil merebut (amr) kebaikan (ma'ruf). Jika hawa tidak berdaya karena kuatnya arus nafsu negatif yg dimasukkan jasad lewat pintu panca indera, maka kepribadian manusia dikuasai oleh "milisi" kekuatan batin yg oleh Freud diberi nama ego. Ego cenderung berkiblat pada jasad (duniawi). Maka sudah menjadi tugas hawa (I'd) untuk membangkang dari keinginan ego agar supaya membelot kepada kekuatan hawa positif (super ego). Hasilnya maka manusia dapat dikendalikan sesuai dengan kodrat dirinya sebagai khalifah Tuhan. Jadilah manusia yg tetap berada pada orbitNya (qodrat/rumus Tuhan), yakni apa yg dimaksud menjadi titah jalma menungsa kang sejati, yaiku nggayuh kasampurnaning gesang, (untk meraih) sastra jendra hayuningrat pangruwating diyu.

Sangat terasa bahwa Tuhan sungguh lebih dari Maha Adil, setiap manusia tanpa kecuali dapat menemukan Tuhan melalui pintu nafs, jiwa, atau hawanya masing-masing, karena Tuhan telah membekali jiwa manusia akan kemampuan menangkap sinyal-sinyal suci dari Hyang Mahasuci. Sinyal suci yg diletakkan di dalam rahsa sejati (sirullah) dan roh sejati (ruhullah). Sudah merupakan rumus (Tuhan), apabila seseorang dapat meraih dharma-nya atau kodrat-dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan, maka kehidupannya akan selalu menemui kemudahan. Sebaliknya hawa nafsu negatif (setan) senantiasa menggoda hawa/nafs manusia agar supaya hawanya berkiblat kepada unsur bumi.

MENJADI PRIBADI YANG MENANG

Sepanjang hidup manusia selalu berada di dalam arena peperangan "Baratayudha/Brontoyudho" (jihad) antara kekuatan nafsu positif (Pendawa Lima) melawan nafsu negatif(100 pasukan Kurawa). Perang berlangsung di medan perang yg bernama "Padang Kurusetra" (Kalbu). Peperangan yg paling berat dan merupakan sejatinya perang (jihad fi sabilillah) atau perang di jalan kebenaran.

Kemenangan Pendawa Lima diraih tidak mudah. Dan sekalipun kalah pasukan Kurawa 100 selamanya sulit dibrantas tuntas hingga musnah. Maknanya sekalipun hawa nafsu positif telah diraih, artinya hawa negatif (setan) akan selalu mengincar kapan saja si hawa lengah. Kejawen mengajarkan berbagai macam cara untk memenangkan peperangan besar tersebut. Di antaranya dengan laku prihatin untk meraih kemenangan melalui empat tahapan yg harus dilaksanakan secara tuntas. Empat tahapan tersebut dikiaskan ke dalam nada suara salah instrumen Gamelan Jawa yg dinamakan Kempul atau Kenang dan Bonang yg menimbulkan bunyi; Neng, Ning, Nung, Nang.

1. Neng; artinya jumeneng, berdiri, sadar atau bangun untk melakukan tirakat, semedi, maladihening, atau mesu budi. Konsentrasi untk membangkitkan kesadaran batin, serta mematikan kesadaran jasad sebagai upaya menangkap dan menyelaraskan diri dalam frekuensi gelombang Tuhan.
2. Ning; artinya dalam jumeneng kita mengheningkan daya cipta (akal-budi) agar menyambung dengan daya rasa-sejati yg menjadi sumber cahaya nan suci. Tersambungnya antara cipta dengan rahsa akan membangun keadaan wening. Dalam keadaan "mati raga" kita menciptakan keadaan batin (hawa/jiwa/nafs) yg hening, khusuk, bagai di alam "awang-uwung" namun jiwa tetap terjaga dalam kesadaran batiniah. Sehingga kita dapat menangkap sinyal gaib dari sukma sejati.
3. Nung; artinya kesinungan. Bagi siapapun yg melakukan Neng, lalu berhasil menciptakan Ning, maka akan kesinungan (terpilih dan pinilih) untk mendapatkan anugrah agung dari Tuhan Yang Mahasuci. Dalam Nung yg sejati, akan datang cahaya Hyang Mahasuci melalui rahsa lalu ditangkap roh atau sukma sejati, diteruskan kepada jiwa, untk diolah oleh jasad yg suci menjadi manifestasi perilaku utama (lakutama). Perilakunya selalu konstruktif dan hidupnya selalu bermanfaat untk orang banyak.
4. Nang; artinya menang; yg terpilih dan pinilih (kesinungan), akan selalu terjaga amal perbuatan baiknya. Sehingga amal perbuatan baik yg tak terhitung lagi akan menjadi benteng untk diri sendiri. Ini merupakan buah kemenangan dalam laku prihatin. Kemenangan yg berupa anugrah, kenikmatan, dalam segala bentuknya serta meraih kehidupan sejati, kehidupan yg dapat memberi manfaat (rahmat) untk seluruh makhluk serta alam semesta. Seseorang akan meraih kehidupan sejati, selalu kecukupan, tentram lahir batin, tak bisa dicelakai orang lain, serta selalu menemukan keberuntungan dalam hidup (meraih ngelmu beja).

Neng adlh syariatnya, Ning adlh tarekatnya, Nung adlh hakekatnya, Nang adlh makrifatnya. Ujung dari empat tahap tersebut adlh kodrat (sastrajendra hayuning Rat pangruwating diyu).


Sent from BlackBerry® by http://kingalibabastore.blogspot.com